Waketum Gerindra Sebut Fadli Zon Kacung Amerika, Kalau Begitu, Prabowo Apa?
Selama ini kita tahu bahwa kader-kader partai bermasalah, berada di kubu Partai Gerindra. Saat kampanye Pilpres AS Donald Trump pada tahun 2015, Fadli Zon dan Ketua DPR Setya Novanto datang dan berfoto bersama mantan calon presiden Amerika Serikat pada saat itu, yang sekarang menjadi presiden AS.
Foto-foto bengong mereka bahkan sampai viral di media sosial. Dengan fakta sejarah ini, wakil ketua umum Gerindra, Arief Poyuono yang mendadak Jokowi karena kasus yang menjeratnya angkat suara. Suara yang diangkat sangat konyol dan merupakan penghancuran secara tersistematis kepada internal dari partai Gerindra.
“Lebih baik dianggap mencla-mencle apa jadi kacungnya Amerika Serikat? Dimana ada politisi Indonesia yang sangat bangga ikut hadir dan ikut memberikan dukungan pada saat capresnya Amerika Serikat Donald Trump kampanye… Sedih saya sama model politisi yang mentalnya mental kacung tapi topengnya nasionalis. Mana bisa maju negeri ini kalau banyak politisi yang bermental kacung asing… Dianggap mencla-mencle setelah mengatakan sebuah kejujuran bahwa faktanya kinerja ekonomi pemerintahan Joko Widodo cukup baik ya rapopo…. Faktanya mendekati tiga tahun pemerintahan Joko Widodo memang kinerja ekonominya menunjukkan perbaikan dan sudah dirasakan masyarakat kok. Ya masa iya sih kita bilang Joko Widodo yang udah mati-matian kerja keras dinilai gagal sih,” kata Arief melalui keterangan yang diterima, Kamis (10/8/2017).
Dengan statement-statement yang diucapkan oleh Waketum Gerindra ini, menunjukkan sedang ada konflik internal antara kader partai Gerindra. Jangan tertipu dengan silat lidah yang dilakukan oleh Arief yang mendadak menyatakan dukungan kepada Joko Widodo.
Dukungan terhadap Joko Widodo rasanya hanya sebuah kedok untuk bersembunyi dari kasus hukum yang ada, karena sudah mengait-ngaitkan antara PDI-P dengan PKI. Tindakan Arief Poyuono yang sangat memalukan ini, harus dibayar mahal, dengan surat yang banyak typo dan tidak terstruktur itu. Memang kader Gerindra ini sangat bermasalah dengan pendiriannya.
Pendirian yang berubah-ubah layaknya bunglon, menjadikan dirinya dihargai dengan begitu ‘murah’. Saking murahnya, sekarang status sebagai Waketum Gerindra yang merupakan oposisi pemerintah sah, pun ditanggalkannya. Demi mengembalikan harga diri yang sudah hancur, ia justru malahan menjadi orang yang semakin terpuruk.
Namun apa yang dikatakannya saat ini sudahlah jelas. Ia menyatakan sikap oposisi kepada partainya sendiri. Sikap autokritik yang dilakukan oleh dirinya, membuat Gerindra harus berhadapan dengan ‘penyusup’, yang menjabat sebagai Waketum Partai tersebut.
Prabowo mungkin sekarang sedang panas dingin mendengar statement-statement kontroversial yang diucapkan oleh Arief. Bukan hanya keringat dingin, saking panasnya, ia mungkin perlu mendinginkan kepalanya dengan berkuda di sore hari dengan angin sepoi-sepoi dan angin semilir yang membuat dirinya tidak merasa tersakiti. Hahaha. Maafkan imajinasi saya yang berlebihan.
Siapa yang tidak marah jika disebut kacung? Saya pun jika disebut dengan istilah yang kasar tersebut akan marah. Mengapa tidak gunakan istilah yang lebih sopan seperti “pembantu”, atau “pelayan”? Mengapa Arief harus gunakan kalimat kacung? Analisis saya sederhana, ia menggunakan istilah kasar tersebut kepada Fadli Zon, karena memang Arief ingin membuat suasana menjadi semakin keruh, dan itu rasanya yang diinginkannya.
Lantas dengan demikian, bagaimana respons dari Fadli Zon? Sampai sekarang saya belum mencari informasi mengenai respons Fadli Zon. Lagipula saya tidak perduli, alias sebodo teing dengan respons manusia gempal tersebut. Sebagai wakil rakyat, ia sebenarnya tidak mewakili rakyat sama sekali.
Partai ini merupakan partai yang tidak jelas. Dengan diisi oleh orang-orang yang selalu melakukan blunder-blunder aneh. Sebut saja Arief, Habiburokhman, Prabowo, Fadli Zon, dan Anies. Mereka adalah dedengkot partai Gerindra yang sepertinya kurang suka dengan kemajuan bangsa ini. Semoga saja saya salah dalam menilai partai tidak jelas ini.
Blunder yang dilakukan salah satunya adalah mengkritik kebijakan Presidential Threshold yang katanya dirancang oleh Jokowi. Padahal kita tahu DPR lah yang mengesahkan UU tersebut. Mereka harus walkout dari pengesahan. Banci memang banci. Kalau kalah malah left game. Cupu sekali bukan?
Betul kan yang saya katakan?
Jika pembaca ingin melihat dan menikmati buah pemikiran saya yang lainnya, silakan klik link berikut: