Tifatul Sebar Hoax Rohingya Lalu Minta Maaf? Jerat Dengan UU No19/2016 ITE!
Kejadian pertama, setelah pernah kedapatan follow akun porno di Twitter, Tifatul pun ngeles dengan mengatakan dirinya tidak sengaja. Kejadian kedua, setelah berdoa di depan umum agar Jokowi gemuk dan mendapatkan komentar negatif dari Kyai NU Gus Nadir dan Pendeta Gilbert Lumoindong, ia pun meminta maaf lagi. Kejadian ketiga, setelah menyebarkan foto hoax Rohingya, dan sempat ngeles, ustad PKS lagi-lagi meminta maaf. Ternyata kata ‘maaf’ terlalu murah diucapkan oleh ustadz PKS ini. Ternyata ada hukum yang dapat menjerat orang ini!
Berbicara tentang permintaan maaf, ternyata tidak semudah berkata. Permintaan maaf harus diikuti dan diiringi dengan perbuatan dan komitmen untuk tidak mengulangi hal yang sama. Secara kejadian, memang ketiga kejadian ini tentu berbeda. Namun jika kita melihat lebih dalam lagi, ternyata motifnya tidak berbeda.
Permasalahan utama bukan ada di tindakan Tifatul, melainkan ada di dalam inner soul dari Tifatul. Manusia diciptakan memiliki hati nurani/ conscience. Hati nurani diciptakan untuk memberikan sebuah alarm yang bersifat warning. Hati nurani memiliki fungsi mengatur tindakan manusia, agar tindakan-tindakan mereka tetap ada di ranah kemanusiaan yang adil dan beradab.
Keberadaan hati nurani tidak dapat dipungkiri, bahkan oleh manusia sebiadab apapun. Namun sayangnya, hati nurani yang tidak dipelihara dan tidak ‘diberi makan’ dengan baik, akan berubah semakin lama semakin tipis.
Manusia adalah manusia jika mereka bisa menimbang, berpikir, melakukan proses rasionalisasi, dan memberi ruang pada ‘kebajikan’. Menurut seorang filsuf Yunani bernama Aristotle, setiap manusia memiliki sebuah tujuan hidup yang terbaik, dinamakan dengan Summum Bonum. Kalimat ini berarti ‘the highest good’.
Manusia terlahir memiliki cita-cita seperti ini. Namun seiring dengan bertambahnya usia dan kedewasaan, perlahan namun pasti, summum bonum manusia mengalami degradasi, karena kebaikan-kebaikan tertinggi itu harus bergesekan dengan realita.
Hal-hal yang memengaruhi terkikisnya kebaikan tertinggi antara lain pengalaman-pengalaman manusia, tindakan-tindakan dirinya, habitat mereka, dan apa yang menjadi kesukaan dasar mereka. Maka tidak sedikit orang yang mengatakan bahwa….
Pengalaman adalah terkikisnya idealisme… (Loh kok jadi baper sih gue!)
Ketika kita melihat seorang Tifatul Sembiring yang sembarangan berkata-kata dan hanya sekadar lip service mengatakan ia meminta maaf, dengan mudah kita dapat memetakan orang ini.
Pertama, melihat dari pengalamannya, ia memiliki masa lalu yang agaknya tidak baik. Lihat saja selama ia menjabat sebagai menteri Kominfo. Ia malah tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Kemajuan teknologi rasanya tidak menjadi tujuannya. Entah proyek, atau mobil internet yang mangkrak, yang pasti Tifatul terlihat tidak memiliki interest yang tinggi di dalam bidang komunikasi.
Kedua, setiap tindakannya sejatinya merupakan blunder-blunder konyol. Lihat saja dari tindak tanduknya, dari (katanya) tidak sengaja mem-follow akun porno, berdoa di hadapan umum tentang fisik seseorang, sampai kepada menyebarkan foto hoax, memperlihatkan bahwa orang ini bermasalah. Setiap tindakan yang dilakukannya, tidak dipikirkan terlebih dahulu. Seharusnya ia tahu, sebagai ustad, kader PKS sekaligus kader perwakilan rakyat, ia harus menunjukkan harga dirinya secara benar.
Ketiga, habitat Tifatul Sembiring pun sepertinya tidak mendukung dirinya untuk menjadi manusia yang lebih baik. Kita tahu, bahwa ia mengaku bahwa foto yang disebar didapatkan dari anggota komisi III. Ini membuktikan bahwa habitatnya sangat tidak kondusif. Sayangnya, bukannya sadar dan mencoba untuk berubah, ia malah terlihat menikmati dan menggampangi keadaannya. Lagi-lagi situasi yang berat ini membuat dirinya terjerat dan tidak sadar bahwa dirinya terjerat. Ini adalah ironi yang paling berbahaya.
Keempat, dari kecintaan akan sesuatu, kita tahu bahwa Tifatul suka untuk mengobok-obok dan mencibir. Terlihat dari setiap tindakannya, menunjukkan bahwa ia sangat loyal kepada PKS, sampai-sampai pikirannya mulai dipengaruhi untuk melakukan oposisi terhadap Jokowi.
Oposisi menurut saya sangat wajar, namun menjadi tidak wajar jika hal baik yang dilakukan pemerintah pun dikritisi, bahkan mereka menutup mata terhadap bantuan-bantuan pemerintah Jokowi kepada etnis Rohingya, yang sudah dilakukan selama satu tahun perjalanan panjang ini.
“Bisa saja kita salah dalam menerima. Salah kita koreksi, kan begitu. Koreksi yang penting. Itu pun cc ke Akhmad Sahal. Saya minta maaf ke dia. Biasa saja…. Jangan terlalu baper, kalau baper pasti mati sendiri… Ya, namanya juga politik. Itu followers 1,4 juta ya sebagian pasti haters juga, itu sudah biasa. Saya juga sudah 8 tahun di medsos. Jadi tidak terlalu heran. Itu juga banyak akun anonim gitu,” ucap Tifatul di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (4/9/2017).
Dari kalimat yang diucapkannya pun mengandung hoax! Ia mengklaim bahwa ada 1,4 juta followers, sedangkan yang saya lihat barusan adalah 1,37 juta followers. Ah sudah lah, saya mungkin sedang membesar-besarkan beda 30 ribu followers-nya. Twitter saya saja hanya beberapa ratus followers. Mungkin saya hanya iri dengan ‘manusia ini’. Hahaha.
Lantas bagaimana kita dapat mengubah orang ini? Rasanya mustahil jika manusia dapat mengubah manusia. Saya percaya bahwa hanya Tuhan yang dapat mengubah manusia ini. Namun cara apa saja yang dapat digunakan Tuhan untuk mengubah, itu bisa kita diskusikan. Setidaknya Tuhan memakai pemerintah untuk menegakkan hukum.
Syukurnya, di Indonesia ada undang-undang yang mengatur tentang tindakan Tifatul yang sudah mulai kelewatan ini. Undang-undang Republik Indonesia nomor 19 tahun 2016 pasal 28 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, rasanya merupakan UU yang cukup efektif untuk menjerat manusia ini. Kita harus sadar bahwa tujuan kita menegakkan hukum bukan untuk membully Tifatul, melainkan untuk menyadarkannya.
Berikut bunyinya:
Pasal 45A
- Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan
yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). - Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu
berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Semoga Tifatul dapat membaca artikel ini dan sesegera mungkin sadar, bahwa dirinya sedang dalam incaran. Jangan sampai wakil rakyat ini bisa seenaknya menyebarkan hoax, lalu menghapus, dan menganggap enteng tindakannya. Pak Polisi, proses ‘manusia ini’ segera!
Betul kan yang saya katakan?
Jika pembaca Seword ingin melihat dan menikmati buah pemikiran saya yang lainnya, silakan klik link berikut:
https://news.detik.com/berita/d-3627423/posting-foto-hoax-krisis-rohingya-tifatul-minta-maaf