simple hit counter

“Teriakan” Jihad ke Myanmar vs Pembantaian Muslim di Era Soeharto

Setiap hal dihubung-hubungkan dengan isu agama adalah “jurus andalan” gerombolan rasisme yang baru saja memenangkan Pilkada 2017. Meng-agungkan setiap perbedaan identitas manusia dan menobatkan diri, kelompoknya sebagai golongan “suci” yang telah memiliki kavling surga. Setiap permasalahan dihubung-hubungkan dengan agama, etnis dan ras/suku.

Mengkaitkan permasalahan Rohingya dengan isu agama sebaiknya tidak boleh berhenti hanya menerima informasi saja, namun sebaiknya dibudayakan mencari informasi sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber dan sudut pandang, jika tidak mau di golongkan sebagai golongan “lumpuh pemikiran”. Berdiam diri dan menunggu informasi datang, namun tidak berusaha untuk mencari dan menggali informasi agar mendapatkan sebanyak-banyaknya data sebelum mengambil sikap.

Beberapa sumber  mengatakan bahwa peristiwa kekerasan terhadap warga Rohingya ini lebih bersifat politis dan ekonomis (menurut Kepala bidang penelitian pada South Asia Democratic Forum, Siegfried O Wolf), dimana secara geografis, penduduk rohingya yang mayoritas berpenduduk Muslim dan tinggal di negara bagian Rakhine yang mayoritas penduduknya memeluk agama Budha. Negara bagian ini yang dikenal  sebagai wilayah kaya atas sumber daya alamnya dimana ada jalur sumber energi, minyak dan gas(Ketersedian cadangan energi minyak dan gas di Myanmar yang belum tergali mencapai 11 hingga 23 triliun cubic feet). Daerah tersebut memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah dan terjangkit “kutukan” sumber daya alam, yakni daerah kaya yang memiliki sumber daya alam non-terbarukan seperti mineral dan bahan bakar, daerah tersebut cenderung mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dan  pembangunan yang lebih buruk ketimbang negara-negara yang sumber daya alamnya langka.

salah satunya penyebabnya adalah penurunan tingkat persaingan di sektor-sektor ekonomi lain, salah pengelolaan SDA oleh pemerintah, atau institusi yang lemah, tidak efektif, tidak stabil, atau korup. Ditengah wilayah yang kaya namun Rakhine dikenal sebagai wilayah yang tingkat kemiskinannya sangat tinggi.

Menjadi tidak aneh konflik yang mempunyai landasan ekonomis dan politis tersebut dimana Myanmar menempati 5 negara terkorup se-Asia, dengan tingkat korupsi 40 persen. Daerah konflik tersebut yang cenderung tertutup dari jurnalis dan dengan peta konflik yang dibungkus konflik agama yang dipelihara oleh pemerintah Myanmar (militer Myanmar).

Tingginya ketidakadilan yang terjadi di wilayah tersebut menimbulkan perlawanan dan pemerintah Myanmar menetapkan pemberontokan Bengali, mengacu pada etnis Rohingya dan Tentara Penyelamat Rakyat Rohingya (ARSA) sebagai kelompok teroris, dan dijerat dengan Undang-Undang Anti-Teroris Myanmar.

Banyaknya sumber yang menyatakan bahwa konflik tersebut lebih kepada ekonomi dan politis dan bukanlah atas dasar kebencian identitas agama dan etnisity yang kerap digaungkan oleh gerombolan rasisme yang belum lama ini memenangkan kontestasi Pilkada 2017, yang mengumandangkan jihad dan perang kepada golongan atau yang berbeda identitas, dan kerap membawa-bawa urusan agama didalam pernyataan dan langkah politiknya.

Mempolitisasi peristiwa ini dengan isu genosida terhadap rohingya dan terlebih muslim di wilayah tersebut lebih atas dasar nafsu ingin meneruskan kemenangan yang sudah mereka dapatkan di Pilkada 2017 dengan membawa isu agama adalah kunci kemenangan yang akan mereka teruskan di pertarungan politik (perebutan kekuasan) selanjutnya, mereka tidak perduli atas kehancuran tatanan dan terancamnya pecah kesatuan negara ini dimana tindakan ini akan menginisiasi gerakan perusak lainnya (HTI, dll) yang akan menyatukan gerakan mereka atas dasar identitas agama.

Rohingya mengalami ketidakadilan itu benar, dan penduduk mayoritas beragama muslim itu benar, sama halnya seperti peristiwa yang terjadi di Indonesia, peristiwa Tanjung Priok, dimana pembantaian kepada umat Islam saat  masa pemerintahan Soeharto yang diklaim jatuh korban 400 orang meninggal dunia. Ironis saat gerombolan rasis pemenang Pilkada tersebut justru berkawan dengan keluarga Soeharto seakan tidak pernah terganggu atas pembantaian yang banyak dilakukan saat pemerintahan Soeharto dahulu kepada penduduk atau daerah yang mayoritas muslim ini.

Jika Rizieq mengumandangkan perang ke Myanmar dan mengumandangkan “bunuh” (seperti biasa gaya bicaranya) kepada pemimpin Myanmar, namun bersahabat dengan keluarga Seoharto (smilling General) yang tidak kalah kejamnya terhadap orang muslim.

Mengapa jauh-jauh mengumandangkan perang ke negara orang, sementara berkawan dengan keluarga Seoharto, mungkin lebih cocok jika mereka mengumandangkan keadilan untuk pembantaian muslim di peristiwa Tanjung Priok. Ya paling tidak bukan malah berpelukan dan berkawan sebagai bentuk solidaritas moral kepada keluarga korban Tanjung Priok atau korban lainnya yang dahulu hasil karya kekuasaan rezim Soeharto.

 

 

http://bisnis.liputan6.com/read/3012240/5-negara-paling-korup-se-asia-mana-saja

http://nasional.kompas.com/read/2017/09/03/18404621/konflik-politik-dan-ekonomi-di-balik-tragedi-kemanusiaan-rohingya

https://www.merdeka.com/dunia/apa-sebenarnya-penyebab-myanmar-menindas-muslim-rohingya.html

https://m.tempo.co/read/news/2017/08/26/118903457/myanmar-nyatakan-pemberontak-rohingya-arsa-teroris

https://kumparan.com/ardhana-pragota/pipa-migas-problem-lain-di-balik-penderitaan-rohingya

 

 

 

 

“Teriakan” Jihad ke Myanmar vs Pembantaian Muslim di Era Soeharto | admin | 4.5