simple hit counter

Sejarah Radikalis Amerika, Terulang di Negara Bagian Virginia.

Kelompok rasis dan intoleran, rupanya bukan monopoli Indonesia dan negara terbelakang, Amerika pun tidak lepas dari masalah seperti ini. Ironisnya, Presiden Amerika sendiri cenderung bersikap lunak, jika tidak ingin dikatakan berpihak kepada kelompok radikal ini.

Sikap Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menjadi sorotan lantaran dia dituding tidak secara gamblang mengecam aksi kelompok ekstrem kanan dalam pawai supremasi kulit putih di Charlottesville, Virginia, kendati Gedung Putih memberikan klarifikasi.

Pada pawai di negara bagian Negara Bagian Virginia tersebut, seorang perempuan bernama Heather D Heyer tewas dihantam sebuah mobil yang menabraki kerumunan demonstran penentang supremasi kulit putih.

Karakteristik masyarakat modern yang kental dengan masyarakat multi etnik, lebih-lebih di negara sebesar Amerika, patut disesalkan, jika masih dikotori oleh sikap-sikap diskriminatif berbau rasis. Bahkan sejatinya penduduk asli Amerika sendiri, tidak mengklaim sebagai yang paling berhak hidup di tanah leluhurnya itu.

Keberadaan Trump di Gedung Putih dan munculnya pawai supremasi kulit putih di Charlottesville dipandang sejumlah pihak bukan kebetulan.

Bahkan, secara blak-blakan, sebuah organisasi hak sipil bernama The Southern Poverty Law Center mengatakan, “Munculnya Trump sebagai presiden mendorong kebangkitan sayap kanan radikal, yang membuatnya sebagai penyanjung gagasan bahwa Amerika pada dasarnya merupakan negaranya kaum kulit putih.”

Potensi konflik horizontal, yang kerap menjadi ciri khas di negara dengan warga multi etnis, dalam waktu lama tidak diberitakan di Amerika. Lalu kenapa tiba-tiba, ketika sang taipan duduk di gedung putih, seolah menjadi bahan bakar bagi para pentolan neo nazi, anti semit dan sebangsanya itu ?

Paman Donald pun layaknya orang punya hutang jasa, karena saat kampanye mendapat dukungan penting, jadi sulit mengambil sikap seperti seharusnya, tegas dan keras kepada siapapun yang mengotori alam demokrasi, yang selama ini didewakan negara super power itu.

Terkait kericuhan dalam aksi di Charlottesville,Trump yang sedang dalam masa liburan di klub golf pribadinya di Bedminster, New Jersey, pun angkat bicara. “Kami mengikuti kejadian mengerikan yang terjadi di Charlottesville, Virginia,” kata Trump. “Kami mengecam keras tampilan mengerikan dari kebencian, kefanatikan, dan kekerasan ini. Di banyak sisi,” sambungnya. Trump kemudian mengatakan tiga kata itu lagi -“di banyak sisi”, seperti hendak menekankan bahwa frase itulah sebenarnya satu-satunya poin utama dari pidato singkatnya itu.

Seorang presiden, yang seharusnya merupakan representasi dari semua golongan dan semua etnis, seolah sedang menghadirkan dirinya condong ke arah kaum radikal berhaluan kanan. Sikap Trump ini boleh jadi akan membangkitkan kembali anti semitisme, yang merupakan salah satu visi kelompok ultra kanan.

Trump pun tak menyinggung munculnya seruan-seruan rasial dalam seluruh kejadian ini. Dalam seruannya untuk persatuannya ini, Presiden Trump tak menyinggung kelompok supremasi kulit putih yang telah turun ke jalan, dan mengganggu kedamaian di Charlottesville.

Media setempat melansir, Gubernur Virginia Terry McAuliffe mengumumkan kondisi darurat setelah pada Sabtu petang (Ahad, 13 Agustus waktu Indonesia), kekerasan antara kubu kelompok supremasi kulit putih dan kubu berseberangan, pecah.

Seorang perempuan berusia 32 tahun tewas dan 19 lainnya terluka setelah sebuah mobil berwarna abu-abu menabrak massa anti-kulit putih di dekat kampus Universitas Virginia. Korban tewas bertambah menjadi tiga orang setelah sebuah helikopter pengintai kepolisian jatuh dan menewaskan dua penumpangnya.

Kaitan antara keberanian kelompok ultra kanan Amerika, dengan Donald Trump, memang tidak lepas dari sejarah ketika pemilihan Presiden yang lalu. Pada Februari 2016, Trump menolak untuk menepis dukungan dari kelompok Ku Klux Klan dan David Duke, mantan pemimpin KKK yang menjadi politikus Partai Republik di Negara Bagian Louisiana. “Setiap kandidat yang tidak secara langsung mengecam kelompok kebencian seperti KKK tidak mewakili Partai Republik dan tidak akan menyatukan partai,” kata Tim Scott, senator Partai Republik pertama yang berkulit hitam dari South Carolina.

Sepertinya terdapat anomali dalam kehidupan politik Amerika, pasca terpilihnya Donald Trump. Presiden yang terkesan memiliki keasyikan sendiri, terlepas dari politisi partai Republik lainnya, sehingga terlihat posisinya rapuh secara politik. Mampukah Trump bertahan dalam kurun waktu empat tahun kepemimpinannya ?

Sumber berita :

  1. Sikap Trump Terhadap Kelompok Supremasi Kulit Putih.
  2. Trump Kecam Kerusuhan, Tidak Menyebut Kelompok rasial.
  3. Virginia Dalam Statusi Darurat.
Sejarah Radikalis Amerika, Terulang di Negara Bagian Virginia. | admin | 4.5