Ratu Atut Divonis 5,5 Tahun Penjara Dan Denda 250 Juta, Hukuman Tidak Setimpal Kerugian Negara
Akhirnya keputusan pengadilan terhadap kasus Ratu Atut Chosiyah sudah keluar. Beliau divonis 5 tahun 6 bulan dan denda Rp 250 juta subsider 3 bulan kurungan. Ratu Atut terbukti melakukan tindakan korupsi dengan mengatur proses penganggaran pengadaan alkes Banten dan mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 79 miliar.
Hukuman ini sebenarnya tidak seimpal dengan kerugian yang telah diperbuatnya. Masih besar kemungkinan Ratu Atut korupsi progam yang lain, hanya saja kasus alkes ini yang ketahuan. Orang yang sudah korupsi pasti minta tambo, duitnya banyak kok.
Ratut Atut juga cukup ‘baik’ dan rajin bagi-bagi jatah. Majelis hakim menyebut Atut terbukti memperkaya dirinya sebanyak Rp 3,8 miliar dan memperkaya adiknya Tubagus Chaeri Wardhana Rp 50 miliar.
Atut disebut juga memperkaya orang lain yakni Yuni Astuti yang menerima Rp 23,3 miliar, kemudian Djadja Buddy Suhardja Rp 590 juta, dan Ajat Drajat Rp 345 juta. Rano Karno menerima Rp 700 juta, Yogi Adi Prabowo Rp 76,5 juta, Tatan Supardi Rp 63 juta, Abdul Rohman Rp 60 juta, serta Ferga Andriyana Rp 50 juta.
Selanjutnya ada Eki Jaki Nuriman yang menerima Rp 20 juta, Suherman Rp 15,5 juta, Aris Budiman Rp 1,5 juta, dan Sobran Rp 1 juta. Ada pula duit yang diberikan untuk liburan dan uang saku pejabat Dinkes Provinsi Banten, tim survei, panitia pengadaan, dan panitia pemeriksa hasil pekerjaan ke Beijing sebesar Rp 1,6 miliar.
Wah, ini seperti undian berhadiah, yang paling dekat dengan Ratu Atut menerima uang paling banyak. Adiknya saja mendapat 50 Milyar, kurang baik apa Ratu Atut? Mana ada kakak perempuan lain selain beliau yang memberikan adiknya ‘hadiah’ 50 Milyar?
Atut juga melakukan pengaturan pelaksanaan anggaran pada pelelangan pengadaan alat kesehatan (alkes) Rumah Sakit Rujukan Pemprov Banten. Atut ikut berperan memenangkan pihak-pihak tertentu untuk menjadi rekanan Dinas Kesehatan Provinsi Banten, bersama-sama dengan adik kandungnya, yakni Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan.
Sementara itu, Atut terbukti melakukan pemerasan terhadap empat kepala dinas di Pemprov Banten. Uang senilai Rp 500 juta itu digunakan untuk kepentingan Atut dalam rangka mengadakan kegiatan Istighosah.
Masalah Istigosah ini Ratu Atut masih membantah. Katanya uang Rp. 500 juta itu bukanlah merupakan pemerasan. Padahal kita tahu sendiri, 500 juta itu nilainya tidak sedikit. Orang super kaya sekalipun pasti mikir dua kali sebelum memberikan uang 500 juta.
“Ibu (Atut) curhat kasus perkaranya merasa dipaksakan. Apalagi terkait acara istighosah yang dianggap sebagai pemerasan,” ujar kuasa hukum Ratu Atut Chosiyah, Sukatma
“Harapan ibu tentu memperoleh keadilan, apalagi sudah menunjukkan iktikad baiknya dengan mengembalikan kerugian,” ucapnya.
Bagus! Keadilan dalam arti dibebaskan? Setelah korupsi milyaran (dan korupsi lain yang belum ketahuan) tinggal mengembalikan uang hasil korupsi lalu langsung bebas? Wah, sedap betul hidup para koruptor. Penulis juga mau kuliah juruan korupsi ah, dapat duit gampang habis keluar penjara masih kaya.
“Saya ingin menambahkan bahwa saya mohon maaf dengan sangat keputusan saya dianggap melakukan kesalahan. Saya mohon diputus seadilnya. Saya masih punya tanggung jawab pada putri dan keluarga saya,” papar Atut
Lihat kata-katanya ‘saya dianggap melakukan kesalahan’. Mungkin saja penulis yang oon, tapi jelas korupsi itu BUKAN kesalahan. Bagaimana mungkin anda tanda tangan proyek dimana anda mendapatkan fee lalu mengatakan ‘ups… saya tidak sengaja’?
Jelas ini upaya ngeles supaya hukumannya diringankan. Maling ayam bisa menutup muka karena malu, tapi korupsi Milyaran tetap pamer muka kayak selebriti. Apa ini tanda kalau nyolong itu mesti besar ga boleh kecil-kecilan?
Akhir kata, pemerintah seharusnya mewajibkan semua kepala daerah melakukan pembuktian terbail terhadap harta mereka. Sayangnya UU ini pasti akan ditolak oleh DPR, KPK saja ingin dibubarkan.