Pak Luhut, Pakde Jokowi, Bung Karno, Anda Bertiga Luar Biasa!
Sebelumnya saya ingin meminta maaf karena kemarin Seword diserang hampir seharian penuh pada tanggal 30 September 2017 kemarin sehingga bagian ketiga dan terakhir dari seri Menghadapi Isu Komunis tidak bisa dipublikasikan pada saat itu. Beruntungnya hari ini para penulis Seword bisa memposting artikel-artikel untuk para pembaca sekalian, termasuk saya yang baru beberapa menit yang lalu berhasil mengakses situs ini.
Oke, now back to the real thing.
Di tengah isu PKI yang tahun ini terasa sangat gencar diluncurkan oleh Mayjen K (AD, Purn.) dan mantan Ketua MPR-RI Amien Rais karena secara tidak langsung diiyakan oleh Panglima TNI Gatot Nurmantyo (AD) dan Mendagri Tjahjo Kumolo, banyak orang bertanya-tanya apa yang menjadi reaksi langsung dari Presiden Joko Widodo sendiri. Seperti yang sudah diketahui sejak 3 tahun yang lalu, Pakde Jokowi menjadi sasaran utama fitnah-fitnah berbau PKI dari lawan-lawan politiknya.
Pakde berada dalam posisi sulit, karena jika salah langkah atau terpeleset, maka lawan-lawan politik Pakde tidak akan segan-segan menyerang beliau. Fitnah demi fitnah sudah dilancarkan, dari foto seseorang – yang berdiri di dekat D.N. Aidit (Sekjen PKI pada tahun 60-an) yang sedang berorasi – dianggap sebagai Pakde Jokowi sendiri, sampai fitnah bahwa ibu Pakde Jokowi bukanlah Ibu Sujiatmi Notomihardjo. Beruntunglah, orang yang melancarkan fitnah tersebut sekarang sudah ditangkap.
Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, berpendapat bahwa isu PKI tidak perlu digembor-gemborkan, apalagi karena itu akan menghabiskan energi bangsa yang seharusnya bisa digunakan untuk hal yang lebih berguna.

Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan
“Diwaspadai oke, tapi jangan terlalu hebohlah kayak mau Perang Dunia. Saya kan ngalamin, kalian belum lahir. Komunis itu terjadi kalau terjadi ketidakadilan,” kata Luhut di Istana Negara, Jl Veteran, Jakarta Pusat, Selasa (19/9/2017). “Kalau ributin itu saja (G30S/PKI), kurang kerjaan gitu loh. Diwaspadai yes, cara waspada pemerintah adalah keamanan dan kesejahteraan,” ungkap Luhut.
Memang seharusnya isu-isu komunis tidak perlu dibesar-besarkan, karena itu akan menimbulkan gangguan terhadap pemerintahan itu sendiri, kecuali jika memang tujuannya dari awal adalah menggangu pemerintah. Kemampuan Pakde Jokowi beserta para jajaran menterinya tidak perlu diragukan lagi, terlepas dari berbagai tingkat kemampuan para menteri dalam menghadapi isu-isu tertentu.
Pakde Jokowi pun akhirnya berpendapat mengenai polemik pemutaran film G30S/PKI tersebut, ia berpendapat bahwa seharusnya film tersebut diperbaharui agar lebih mudah dipahami generasi muda.

Pakde Jokowi
“Ya nonton film apalagi mengenai sejarah itu penting, akan tetapi untuk anak-anak milenial yang sekarang tentu saja mestinya dibuatkan lagi film yang memang bisa masuk ke mereka,” kata Jokowi seusai meninjau Jembatan Gantung Mangunsuko di kecamatan Dusun, Magelang, Jawa Tengah, Senin, 18 September 2017.
Usulan Pakde Jokowi tentang pembaharuan film mengenai Gerakan 30 September menurut saya cukup elegan. Disamping ketidakakuratan film yang disponsori oleh Angkatan Darat tersebut, film “Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI” juga (seperti yang disampaikan oleh Sukmawati Soekarnoputri, putri dari Presiden Soekarno) melebih-lebihkan peran Mayor Jenderal Soeharto yang memang pada akhirnya menjadi Presiden Republik Indonesia selama 32 tahun.
Terlebih, pembaharuan film kontroversial tersebut bisa menjadi kesempatan untuk melakukan riset sejarah sebenar-benarnya agar tabir kelam – yang menyelubungi salah satu kejahatan kemanusiaan terbesar yang pernah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia – bisa disingkirkan. Pakde Jokowi juga tidak menolak pemutaran film itu dengan tanpa disangka-sangka menonton film “PP G30S/PKI” di Makorem Bogor hari Sabtu malam (30/9).
Seharusnya sebagai pengayom rakyat yang ingin lepas dari bayang-bayang penguasa totaliter dan pro terhadap para kapitalis hitam, Pemerintah Indonesia – baik sipil maupun militer – harus senantiasa mengedukasi rakyat tentang ideologi pemersatu bangsa kita, Pancasila. Menurut saya, ada beberapa cara ampuh yang bisa digunakan agar rakyat bisa semakin paham tentang ideologi bangsa kita, yakni:
Pertama, buku-buku yang memuat pemikiran Bung Karno dan Tan Malaka harus disebarkan, dijadikan bahan bacaan wajib di setiap perpustakaan di sekolah, terlebih karya-karya awal Bung Karno seperti “Nasionalisme, Islam, dan Marxisme” (1926) dan buku Tan Malaka yang berjudul “Materialisme, Dialektika, dan Logika” (1943). Buku-buku yang ditulis oleh Bung Hatta dan yang lain menurut saya juga layak dibaca, tetapi bagi saya Tan Malaka layak diapresiasi karena telah menggugah semangat para Bapak Bangsa kita, termasuk Bung Karno sendiri yang merupakan Bapak Pancasila itu sendiri.
Kedua, ideologi-ideologi besar yang pernah mendiami Indonesia harus ditelaah sedemikian rupa, karena tidak melulu semua ideologi kanan adalah Liberalisme, dan tidak melulu semua ideologi kiri adalah Sosialisme. Banyak sekali cabang-cabang ideologi dari keduanya yang patut dipelajari sejarah maupun ciri-cirinya, dari Stalinisme-Maoisme, Marhaenisme dan Soekarnoisme (Pancasila), sampai Kapitalisme, Kolonialisme-Imperialisme, dan Fasisme. Ideologi-ideologi ekstrem kiri sampai ekstrem kanan pernah menapakkan kakinya di Indonesia, dan kita harus mempelajarinya agar kita bisa mengetahui sisi positif dan sisi negatif dari ideologi-ideologi tersebut.
Ketiga, memantapkan kembali Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) yang menurut saya masih terlalu normatif. Pembahasan ideologi Pancasila pada jenjang SMA-SMK menurut saya masih belum cukup jika dilakukan hanya dengan pembahasan aplikasi nilai-nilai Pancasila yang seharusnya sudah cukup diajarkan di jenjang SD dan SMP. Seharusnya sejarah dan ideologi-ideologi yang mempengaruhi lahirnya Pancasila juga perlu dipelajari, tentunya dengan media diskusi, agar semua yang mempelajarinya bisa betul-betul mengerti asal-muasal Pancasila dan dengan itu tidak gampang terpengaruhi oleh ideologi-ideologi lainnya.
Terlebih, cara paling ampuh untuk mengikis ideologi yang dianut oleh PKI tersebut datang dari Bung Karno sendiri, Sang Proklamator, Bapak Marhaenisme, dan Pemimpin Besar Revolusi. Beliau memberi saran, bahwa untuk menumpas komunisme bukan melalui propaganda-propaganda busuk, bukan pula melalui pemenjaraan, persekusi, maupun penghilangan paksa, tetapi:

Bung Karno (Sumber: http://www.berdikarionline.com/cdn/2013/10/Bung-Karno-131.jpg1)
“Ganti gubuk-gubuk kumuh dengan rumah-rumah yang baik untuk rakyat. Beri makan yang banyak, sandang-pangan yang cukup. Kalau kondisi sosial ekonomi-masyarakat Indonesia baik, tak bakalan bisa Komunisme tumbuh. Tidak dengan cara menggorok orang-orang yang dinamakan Komunis!” Ujar Presiden Soekarno dalam pidatonya di hadapan Delegasi Angkatan ’45 di Istana Merdeka pada tanggal 6 September 1966.
Pembangunan yang merata menjadi kunci (bukan Pulau Jawa ya, apalagi Raisa, hahahahaha….) untuk menghapus ketidakadilan yang sekarang masih banyak terdapat di masyarakat. Bung Karno menyadari itu sejak lama dan terus berusaha untuk memajukan Indonesia melalui berbagai cara, termasuk mengirim para mahasiswa ke luar negeri agar mereka bisa membantu rakyat mengurus SDA demi kepentingan bangsa setelah mereka kembali. Tetapi sayang Bung Karno akhirnya dilengserkan oleh kepentingan asing, dan dengan penandatanganan UU PMA pada bulan April 1967, Indonesia terjun ke jurang kekelaman.
Pakde Jokowi dan Pak Luhut nampaknya tahu betul nasihat-nasihat dari Bung Karno tentang “menumpas” komunisme melalui penegakan Keadilan Sosial. Pembangunan-pembangunan berbagai infrastruktur bersifat produktif yang vital dan penting untuk merintis jalan menuju kesejahteraan digalakkan di berbagai daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal) di Indonesia.
Sebut saja Rel KA Sulawesi, Jalan Trans-Papua, Tol Trans-Sumatera, Tol Trans-Jawa, puluhan waduk di berbagai sudut Indonesia, serta masih banyak lagi yang dibangun oleh pemerintah. Pemerintah Indonesia, dibawah Pakde Jokowi, sedang berusaha keras untuk membuat rakyat Indonesia yang selama ini terpinggirkan bisa menikmati fasilitas-fasilitas layaknya di Pulau Jawa, atau setidaknya di Pulau Sulawesi.
Maka dari itulah, memupuk kebencian terhadap sebuah ideologi – terlebih ideologi yang muncul dari ketidakadilan di masyarakat – adalah hal yang bodoh dan membahayakan masa depan NKRI tercinta ini. Lebih baik kerja, kerja, dan kerja untuk menegakkan Keadilan Sosial, serta mengedukasi rakyat secara perlahan agar paham, daripada menyebarkan propaganda-propaganda lawas yang bisa saja menimbulkan efek yang lebih parah daripada yang sudah-sudah.
Salam Dua Jari. NASAKOM BERSATU!
#Tolak_Kebangkitan_Orba