OPM “Turun Gunung”: Soft Diplomacy Jokowi Di Papua Berbuah Manis
Siapa yang tidak mengenal Papua, pulau terluas di Indonesia yang namanya melejit lewat ramainya pemberitaan PT. Freeport dan munculnya perlawanan dari OPM (Organisasi Papua Merdeka) itu adalah salah satu pulau terkaya dan terpotensial yang dimiliki oleh Indonesia. Papua yang teretak di ujung timur Indonesia sudah selama 47 tahun bergabung dengan Indonesia, namun selama itu pula masyarakat Papua mendapatkan perlakuan yang tidak setara, utamanya jika dibandingkan dengan daerah-daerah barat seperti pulau Jawa misalnya. Dari permasalahan infrastruktur, akses, konektivitas, ekonomi, dan pelanggaran HAM kerap kali membuat hati ini tak tega melihatnya.
Pasalnya selama orde baru hingga pemerintahan era SBY, metode pendekatan yang digunakan oleh pemerintah pada waktu itu terasa sangat berlebihan dan tidak halus, yakni lewat military approach atau pendekatan militer. Tentu ini merupakan sesuatu yang keliru jika yang diinginkan adalah terciptanya kesejahteraan bagi masyarakat Papua, bagian dari Indonesia. Namun peninggalan cara lama ini nampaknya tidak sama sekali dicontoh oleh pemerintahan era saat ini.
Jokowi lebih memilih melakukan metode pendekatan kesejahteraan yang manusiawi lewat soft diplomacy, lalu turunannya terwujud dalam masifnya pembangunan-pembangunan infrastruktur di Papua, renegosiasi PT. Freeport di Papua yang jatahnya bagi Indonesia di serahkan oleh pemerintah pusat secara keseluruhan untuk dikelola oleh pemerintah daerah, dan menjadikan Papua sebagai lumbung energi dan pangan lewat proyek konversi lahan seluas 1,2 juta hektare yang diberi nama MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate).
Tak lupa Jokowi juga sangat sering melakukan blusukan ke Papua, berjumpa langsung dengan rakyat dan mensosialisaikan program-program pembangunan pemerintah, serta mendengarkan secara langsung aspirasi dari masyarakat Papua. Bahkan kunjungan ke Papua yang dilakukan oleh Jokowi ini merupakan yang tersering dibandingkan dengan pemimpin-pemimpin era terdahulu. Tercatat sudah empat kali Jokowi melakukan kunjungan blusukannya ke Papua sejak Oktober 2014 lalu. Dikutip dari presidenri.go.id, menurut Lukas Enembe, Gubernur Papua, Presiden tidak hanya singgah di kota-kota besar. Namun juga di daerah terpencil dengan fasilitas minim seperti Nduga dan Wamena. Jokowi berniat untuk lebih dekat kepada rakyat Papua, dan menyentuh mereka lewat pembangunan yang efektif dan dapat dirasakan langsung dampaknya oleh masyarakat.
Tantangan Jokowi dalam membangun Papua tidak hanya sebatas pada wilayah geografis ekstrim yang sulit dijangkau, minimnya infrastruktur, dan ketertinggalan pembangunan ekonomi saja. Namun juga ada satu ancaman lain yang dapat memungkinkan terjadinya kendala atau hambatan dalam pembangunan yang dilakukan oleh Jokowi, yakni keberadaan OPM. Munculnya OPM sebenarnya merupakan bagian dari ketidakpuasan sebagian masyarakat Papua terhadap pemerintahan terdahulu utamanya karena Papua serasa dikesampingkan dalam segala hal.
Oleh karena itulah, Jokowi merasa perlu melakukan pembaharuan pendekatan terhadap masyarakat Papua demi kepentingan masyarakat luas, utamanya masa depan Papua bersama Indonesia. Pembangunan di Papua harus dilakukan secara terkoordinasi, fokus dan berkerja secara berdampingan guna meningkatkan kesejahteraan sosial bagi masyarakat Papua. Pemerintah lewat kementerian dan pemerintah daerah harus saling bahu membahu, agar hal-hal yang selama ini menghambat pembangunan tidak terus di biarkan.
Dalam pendekatan soft diplomacy-nya, Jokowi telah melaksanakan pembangunan konektivitas antar daerah di Papua lewat adanya proyek jalan trans Papua. Kawasan perbatasan juga tak luput mendapatkan sentuhan pembangunan. Banyak sekali program yang dilakukan oleh pemerintah di Papua kali ini, seperti pembangunan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) yang dilengkapi dengan infrastruktur pasar, rehabilitasi beberapa derah irigasi lewat pembangunan bendungan seperti Bendungan Baliem, dengan daya tampung 200 juta meter kubik dan potensi pembangkit listrik 50 megawatt (MW), program rumah swadaya dan program rumah khusus, serta dilakukan penanganan kawasan kumuh melalui program kota tanpa kumuh (KOTAKU) yang menjangkau 41 kelurahan di Kota Sorong dan Kota Manokwari Barat.
Perhatian yang diberikan pemerintah ke wilayah ujung Timur Indonesia ini sangatlah besar. Selain perhatian dan porsi anggaran yang besar, pemerintah juga giat dalam melibatkan masyarakat pada setiap proses pembangunan dan menghindari adanya masyarakat yang menjadi penonton saja. Pemerintah juga menempatkan masyarakat Papua sebagai subyek yang penting dalam pembangunan di Papua. Upaya pendekatan dan pembangunan yang dilakukan pemerintahan era Jokowi ini rupaya terdengar oleh masyarakat Papua yang tergabung dalam OPM.
150 orang mantan simpatisan kelompok bersenjata, kembali ke pihak pemerintah Indonesia (Dok Dispen TNI AD)
Banyak sekali aktivis OPM yang turun gunung atau keluar dari markas persembunyiannya dengan berbondong-bondong untuk menyerahkan diri dan menyatakan diri untuk kembali bergabung bersama NKRI. Mereka berujar kalau juga ingin merasakan pembangunan yang telah pemerintah lakukan pada Papua saat ini. Kejadian seperti ini merupakan peristiwa langka yang jarang terjadi pada era pemerintahan sebelumnya, yang mana lewat pendekatan non militer masyarakat yang dulunya membenci pemerintah justru kini mulai terbuka dan ingin ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan yang terjadi.
Tercatat ada sebanyak 155 simpatisan OPM menyerahkan diri, dan menyatakan kesetiaannya kepada NKRI. Hal ini tentu tidak lepas dari upaya Jokowi yang tak henti melakukan pendekatan kesejahteraan dan komprehensif kepada masyarakat Papua. Lewat pendekatan ini tentu kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Papua akan segera tercapai apabila terdapat keseimbangan antara pembangunan proyek yang bersifat fisik dengan hal-hal yang berkaitan dengan kemanusiaan.
Melalui pendekatan kesejahteraan tersebut, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Papua sedikit membaik, meski belum memuaskan. Kalau pada tahun 2014, IPM sebesar 56,57, maka pada 2015 naik sedikit menjadi 57,25. IPM sendiri menjelaskan bagaimana masyarakat dapat mengakses hasil-hasil pembangunan, khususnya memperoleh pendapatan, mengakses fasilitas kesehatan, pendidikan, dsb. Pembangunan manusia sendiri muaranya adalah untuk mengurangi ketimpangan dan pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, serta penghormatan terhadap hak asasi.
Banyaknya aktivis OPM yang kembali ke dalam pangkuan pertiwi ini tentu merupakan kado manis dari hasil kerja keras Jokowi dalam membangun Papua. Perlawanan keras tidak harus melulu selamanya dilawan juga dengan cara kekerasan bukan. Ketika ada jalan tengah yang lebih tepat, manusiawi dan mensejahterakan masyarakat luas, mengapa tidak ambil saja jalan tersebut? Jokowi dengan karakternya yang khas telah berhasil membawa perubahan secara signifikan terhadap peningkatan kepercayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah. Harapan kita tentu sama agar Papua mampu tumbuh dan berkembang pesat menjadi wilayah yang makmur dan sejahtera, dengan tanpa menghilangkan nilai-nilai lokal yang terkandung di dalamnya. Salut sama pakdhe Jokowi!
Sumber:
[1] “MIFEE dan Mimpi Swasembada Pangan.” http://kedaulatanpangan.net/2015/07/mifee-dan-mimpi-swasembada-pangan/
[2]“Kunci Mensejahterakan Papua : Fokus dan Terkoordinasi”. http://presidenri.go.id/berita-aktual/kunci-mensejahterakan-papua-fokus-dan-terkoordinasi.html
[3]“Pemerintah Gelontorkan Rp. 76 Triliun Bangun Infrastruktur Papua.” https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/3439998/pemerintah-gelontorkan-rp-76-t-bangun-infrastruktur-papua
[4] “Kunci Mensejahterakan Papua : Fokus dan Terkoordinasi.” http://presidenri.go.id/berita-aktual/kunci-mensejahterakan-papua-fokus-dan-terkoordinasi.html