simple hit counter

Mau Bela Rohingya? Bela Karen Juga Dong!

Suku Karen (Sumber: Youtube)

Di pertengahan tahun 2003, saya mendapatkan kesempatan untuk menempuh pendidikan di sebuah universitas di Thailand. Menjadi seorang mahasiswa di negeri Gajah Putih ini merupakan sebuah pengalaman tersendiri bagi saya, karena memang tidak banyak orang Indonesia yang mengenyam pendidikan dari Thailand di waktu itu.

Di kampus kami sendiri, saya menjadi bagian dari sekitar limabelasan mahasiswa Indonesia diantara ratusan mahasiswa yang datang dari berbagai bagian dunia; Termasuk terdapat juga sekelompok mahasiswa yang berasal dari etnis Karen.

Bagi sebagian yang mungkin baru pertama kali mendengar nama kelompok etnik yang satu ini, suku Karen merupakan salah satu kelompok etnis yang berasal dari Myanmar.

Walaupun etnik Karen tersebar di semua wilayah Myanmar, pusat konsentrasi suku Karen berada di tenggara wilayah Myanmar.

Selama saya menempuh pendidikan saya di Thailand, saya menjalin banyak persahabatan dengan orang-orang dari etnik Karen. Terus terang persahabatan saya ini terjalin rapat karena orang orang Karen yang saya temui sangatlah bersahabat. Bukan hanya itu, mereka juga sangatlah perhatian terhadap sesamanya dan yang paling saya kagumi adalah mereka merupakan orang-orang yang sangat religius.

Kebanyakan dari orang-orang etnik Karen merupakan penganut agama Buddha dan Kristen. Sekalipun berbagai sumber memberikan angka yang berbeda-beda, rata-rata menyebutkan kalau agama Kristen dianut sekitar 20 – 25% dari populasi etnis Karen.

Dengan kata lain, seperempat orang Karen adalah penganut agama Kristen. Dan dari mereka yang beragama kristen, Sebagian besar datang dari golongan denominasi Baptis dan Adventist Hari Ketujuh.

Tingginya persentasi suku Karen yang beragama Kristen ini disebabkan oleh perjalanan sejarah misionaris Baptis dan Adventist Hari Ketujuh yang menginjil dan melayani suku Karen sejak awal abad ke-19.

Selama kuliah, saya kebetulan memperoleh pengalaman memperhatikan secara langsung teman-teman suku Karen saya yang beragama Kristen.

Setiap pagi, kawan-kawan Karen saya ini dengan taat mengadakan ibadah pagi di kampus kami. Mereka dengan khusyuk berdoa, dan menyanyikan lagu-lagu pujian, dan kemudian mendengarkan renungan yang diambil dari Alkitab Bahasa Karen mereka.

Setiap sore, merekapun mengadakan ibadah petang dengan format yang hampir sama.

Banyak dari teman-teman Karen saya yang sangat tekun dalam mempelajari Alkitab mereka. Bahkan tidak jarang saya melihat mereka membaca Alkitab mereka di waktu-waktu senggang mereka.

Suku Karen di kampus kami juga memiliki organisasi kemahasiswaan mereka sendiri, dan mereka seringkali mengadakan acara-acara perayaan adat mereka dan kebanyakan mengikuti tradisi Kristen. Sayapun seringkali diundang ke dalam acara-acara perayaan ini.

Tentu saja saya tidak sendiri, pacar saya (waktu itu, yang sekarang sudah menjadi mantan karena saya nikahi) juga memiliki banyak teman-teman dari etnis Karen. Kebetulan pacar saya mengambil jurusan pendidikan dan banyak dari teman-teman Karen kami yang juga mengambil jurusan yang sama. Kebanyakan dari mereka hanya punya satu cita-cita, yaitu mereka ingin menjadi guru dan kembali ke kampung untuk mengajar.

Begitu dekatnya kami dengan teman-teman dari suku Karen ini, sehingga satu hari saya dan istri mendapatkan sebuah kehormatan menerima pakaian tradisional mereka yang dikenal dengan ‘say pl’o’. Bahkan, beberapa teman saya dari etnis Karen menjadi pagar bagus saya saat saya menikah.

Tetapi yang saya ingin ceritakan disini bukanlah hanya sekedar tentang persahabatan saya dengan teman-teman dari suku Karen, tetapi kisah kelam yang mereka ceritakan tentang hidup mereka di Myanmar.

Etnik Karen telah berseteru dengan pemerintah Myanmar semenjak tahun 1948. Bahkan di awal tahun 1949, pembantaian orang-orang Karen oleh rezim militer Myanmar telah berlangsung.

Sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintahan Myanmar, suku Karen kemudian membentuk sebuah organisasi politik yang dikenal Uni Nasional Karen atau Karen National Union (KNU). Organisasi ini dibentuk sebagai bentuk perlawanan etnik Karen terhadap pemerintahan Myanmar yang terus-menerus menyiksa dan menekan mereka.

Pada awalnya KNU memperjuangkan kemerdekaan dari Myanmar, akan tetapi pergerakan perjuangan mereka berubah untuk meminta kebebasan dan pengakuan pemerintah Myanmar akan sebuah daerah otonomi khusus yang diperuntukkan untuk etnis Karen.

KNU juga membentuk sayap militer yang kemudian dikenal dengan nama Angkatan Bersenjata Pembebasan Karen atau Karen National Liberation Army (KNLA), dan kontak senjata antara angkatan bersenjatan Myanmar dan KNLA telah terjadi semenjak KNU dan KNLA dibentuk.

Pertentangan antara tentara Myanmar dan KNU berpusat di bagian tenggara negara Myanmar yang berbatasan langsung dengan Thailand. Oleh karena serangan militer Myanmar ini, banyak orang-orang Karen yang akhirnya harus tersingkir dan mengungsi ke perbatasan oleh karena perkampungan mereka yang dihancurkan oleh militer Myanmar.

Yang lebih menyedihkan lagi, militer Myanmar menggunakan taktik ‘bumi hangus’ dalam menghadapi pertentangan dengan etnis Karen. Oleh karena itu, saat mereka menyerang kampung-kampung dimana orang Karen tinggal, mereka dengan sengaja akan membakar habis semua perumahan yang ada.

Akibatnya, catatan resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa menuliskan, kalau paling tidak 200.000 orang suku Karen harus meninggalkan rumah mereka dan tinggal di kamp pengungsi oleh karena mereka kehilangan rumah tinggal mereka.

Akan tetapi banyak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menangani krisis Karen mencatat kalau sebetulnya paling tidak dua juta orang suku Karen sebetulnya telah menjadi pengungsi dalam konflik ini.

Sedikit kembali ke kisah saya diatas. Oleh karena  agama Kristen yang telah menjadi bagian dari sejarah kehidupan etnis Karen, di dalam kepemimpinan KNU, agama Kristen merupakan agama yang paling dominan. Otomatis kebanyakan anggota KNU dan KNLA adalah orang-orang etnis Karen yang beragama Kristen.

Sebagai hasilnya, anggota suku Karen yang beragama Kristen menjadi orang-orang yang selalu dicurigai sebagai pendukung KNU atau anggota militan KNLA.

Seorang jurnalis dari The Telegraph Inggris bernama Peter Pattisson  bahkan menuliskan bahwa berdasarkan dokumen militer Myanmar yang bocor ke publik, militer Myanmar memandang kaum Kristen Karen sebagai ancaman yang harus ditangani dengan kekerasan dan dengan senjata.

Laporan yang sama juga diberikan oleh sebuah firma hukum dengan nama DLA Piper yang bahkan dipresentasikan di hadapan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Di dalam laporannya, DLA Piper menyatakan bahwa militer Myanmar dengan sistematis berusaha melakukan program pemusnahan etnik terhadap etnis Karen di Myanmar.

Salah satu hal yang menjadi bagian dari laporan-laporan ini adalah tidak jarang tentara Myanmar merangsek dan membakar gereja-gereja milik suku Karen. Tentara Myanmar bahkan menyiksa serta membunuh Pastur atau Pendeta Gereja dari suku Karen. Pembunuhan masal dan pembakaran gereja ini dilakukan karena KNU selalu diasosiasikan dengan Kekristenan.

Tentara Myanmar juga sering mengambil paksa perempuan Karen untuk diperkosa secara beramai-ramai dan dengan kejam membunuh anak-anak dari suku Karen sebagai upaya mencegah mereka menjadi pejuang Karen saat mereka dewasa nanti.

Sekalipun Kekristenan itu sendiri tidak secara langsung terlibat dalam konflik etnis Karen melawan pemerintah Myanmar, tetapi kehidupan banyak orang Karen yang beragama Kristen akhirnya menjadi sulit.

Apa yang dituliskan oleh jurnalis dan wartawan yang meliput konflik Karen ini  saya dengarkan juga sendiri dari teman-teman Karen saya di kampus. Tidak jarang kisah mengerikan bagaimana tentara Myanmar merangsek dan membungihanguskan perkampungan Karen  saya dengarkan dari teman-teman Karen saya.

Bagaimana mereka harus lari dan mengungsi karena tentara Myanmar yang menyerbu perkampungan mereka.

Tidak sedikit dari teman-teman Karen saya yang telah kehilangan orang tua dan saudara mereka oleh karena terbunuh oleh tentara Myanmar atau meninggal  karena sakit atau kecelakaan di pengungsian oleh karena kondisi hidup yang jauh dari kata layak.

Terkadang bahkan, teman-teman suku Karen saya akan ‘menghilang’ selama satu bahkan lebih dari satu semester. Sekalipun tidak ada yang memberitahukan saya secara langsung kemana mereka absen selama waktu itu, rumor yang beredar diantara kami mahasiswa adalah bahwa mereka sedang mengikuti pertempuran melawan tentara Myanmar.

Perjanjian gencatan senjata antara KNU dan militer Myanmar akhirnya terjadi pada tahun 2012 mengakhiri sebuah konflik yang berdasarkan analisa beberapa ahli sejarah sebagai ” perang saudara terlama di dunia.” Akan tetapi ribuan nyawa telah melayang sebagai akibat dari konflik ini.

Poster Film Rambo 4 (Sumber: Lionsgate)

Kekejaman tentara Myanmar terhadap suku Karen akhirnya menjadi perhatian banyak orang di dunia, setelah aktor Sylverster Stallone mengambil peran terkenalnya sebagai John Rambo yang menyelamatkan misionaris Amerika Serikat yang melayani suku Karen di dalam film Rambo 4.

Sekalipun tentu saja ada hal-hal yang dilebih-lebihkan dalam sentuhan Holywood, film Rambo 4 menunjukkan pada dunia bagaimana penyiksaan, pemerkosaan, dan pembunuhan yang dilakukan oleh tentara Myanmar terhadap suku Karen.

Memahami Konflik Myanmar dengan Kacamata yang Lebih Akurat

Kini perhatian banyak orang  di Indonesia sekarang ini sedang berpusat ke Myanmar oleh karena Krisis Kemanusiaan Rohingya oleh karena tindakan biadab militer Myanmar. Tulisan ini tidak dituliskan untuk  mengurangi rasa simpati kepada saudara-saudara kita yang sedang menderita di Rakhine. Kekejaman militer Myanmar terhadap kaum Muslim Rohingya harus segera dihentikan sekarang juga.

Akan tetapi, janganlah kebiadaban militer Myanmar ini kemudian dihubungkan dengan agama tertentu apalagi sampai harus mencederai kerukunan beragama di Indonesia.

Pemerintah Myanmar bukan hanya kejam terhadap kaum Muslim Rohingnya, tetapi juga kepada etnis Karen yang punya afiliasi dekat dengan agama Kristen. Suku Karen pun mengalami hal yang sama seperti yang dialami oleh kaum Muslim Rohingya dimana rumah-rumah mereka dibakar, anak-anak mereka dibunuh, perempuan mereka diperkosa, dan hak hidup mereka diambil.

Dan ini mengapa Krisis Rohingya bukanlah sebuah konflik yang didasari hanya oleh karena motif perbedaan keagamaan tetapi juga harus dilihat dari motif geopolitik dan ekonomi.

Karena pada akhirnya, manusia bisa saja kejam dan biadab apapun kepercayaan keagamaan mereka. Inilah yang terjadi di Myanmar baik kepada etnis Rohingya, maupun kepada etnis Karen. Sangat disayangkan seringkali agama menjadi sasaran mudah untuk mencari pertanggung jawaban dan keadilan akan kekejaman yang dilakukan orang-orang tertentu apapun agamanya.

Selama bertahun-tahun di tenggara Myanmar, etnis Karen telah mengalami apa yang etnis Rohingya rasakan sekarang. Tetapi saat pendeta-pendeta Karen dibantai, gereja-gereja etnis Karen dibakar, perempuan-perempuan Karen disiksa dan diperkosa, dan anak-anak Karen harus menderita di kamp pengungsian, kita tidak mendengar negara-negara yang didominasi agama Kristen kemudian mulai menuduh orang-orang beragama mayoritas Buddha untuk bertanggung jawab.

Atau ada propaganda-propaganda yang secara sistematis dimunculkan untuk mendiskreditkan kaum Buddhis yang hidup di negara-negara yang secara historis didominasi oleh agama Kristen.

Tidakpun terdengar ada berita kuil-kuil umat Buddha diancam atau  bahkan akan dikepung sebagai bentuk perlawanan terhadap apa yang militer Myanmar lakukan terhadap etnis Karen.

Sebaliknya, apa yang terjadi adalah negara-negara yang mayoritas penduduknya Kristen ini malah membuka pintu untuk pengungsi dari etnis Karen untuk bermigrasi ke negara mereka.

Negara-negara seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, Denmark, Norwegia dan Swedia setiap tahunnya membuka jalur khusus untuk migrasi bagi orang-orang dari etnik Karen untuk bermigrasi ke negara mereka.

Banyak misionaris-misionaris dari Amerika Serikat, Kanada dan Australia bahkan menetap dan melayani di kamp-kamp pengungsian di perbatasan Thailand dan Myanmar seperti  di Mae Sot  yang berada di propinsi Tak, Thailand dimana lebih dari 80 ribu pengungsi etnis Karen masih menetap di kamp-kamp pengungsi.

Para misionaris ini melayani pengungsi etnis Karen ini dengan membuka sekolah dan rumah sakit untuk membantu meringankan beban etnis Karen yang menderita oleh karena kekejaman pemerintah Myanmar.

Orang-orang dari negara-negara ini juga banyak menyekolahkan anak-anak Karen di universitas-universitas di Thailand dan negara-negara lain, dan sebagian teman-teman saya dapat berkuliah oleh karena beasiswa seperti ini.

Indonesia Telah Berbuat Banyak

Indonesiapun sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di-dunia juga telah melakukan tindakan kemanusiaan yang sama dan tidak kalah serius atas krisis Rohingya ini.  Indonesia tidak menutup mata terhadap penderitaan saudara-saudara Muslim Rohingya di Myanmar.

Sekolah yang dibangun oleh pemerintah Indonesia sedang dalam pembangunan dan bantuan langsung telah dikirimkan oleh Indonesia ke Rakhine, tempat dimana mayoritas etnis Rohingya menetap.

Pekerja kemanusiaan dari Indonesia juga telah bergerak untuk coba melihat dan bekerja langsung dalam memberikan bantuan kesehatan dan bantuan lainnya.

Pemerintah Indonesia pun telah berusaha sebaik mungkin untuk mengakomodasi pengungsi Rohingya yang terdampar di wilayah Indonesia atau bahkan di laut-laut sekitar wilayah Indonesia.

Usaha yang dilakukan oleh Indonesia mungkin belumlah sempurna dan kekurangan ada di berbagai aspek. Tetapi apa yang dilakukan oleh negara-negara yang lebih maju seperti Australia, Amerika Serikat dan negara-negara yang membantu etnis Karen pun jauh dari kata sempurna.

Oleh karena itu janganlah kekurangan ini kemudian dijadikan amunisi politik untuk menyerang bahkan mendiskreditkan apa yang sudah berusaha dilakukan pemerintah saat ini.

Tetapi yang lebih pentingnya lagi, janganlah krisis Rohingya dijadikan sebagai sebuah kesempatan untuk memecah-belah kerukunan beragama yang ada di Indonesia.

Pemerintah Myanmar bukan hanya saja menyiksa sebuah kelompok agama secara spesifik, yang dalam hal ini Islam. Akan tetapi, penyiksaan dan kekejaman telah dirasakan oleh etnik lain yang kebetulan punya sejarah dekat dengan agama Kristen yang kebetulan juga hidup di dalam negara mereka.

Paling tidak, ada lima perang saudara besar yang terjadi di Myanmar. Peperangan ini terjadi antara militer Myanmar dengan etnis Kachin, Karenni, Shan, Karen dan Rohingya. Setiap etnis ini datang dari latar belakang yang berbeda, dan didominasi oleh agama tertentu.

Dan seperti kebanyakan konflik skala besar di bagian dunia manapun, sekalipun motivasi perbedaan agama bisa menjadi salah satu bahan bakar paling efektif dalam konflik, faktor-faktor lainpun tidak bisa disingkirkan begitu saja.

Oleh karena itu, sulit untuk diterima oleh logika  saat mendengar berita ada rencana dari FPI untuk mengepung candi Borobudur, atau membaca pernyataan-pernyataan yang mendiskreditkan  saudara-saudara kita di Indonesia yang beragama Buddha dengan alasan mereka ikut bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukan militer Myanmar kepada etnis Rohningya.

Tidak ada hubungan sama sekali antara umat Buddha di Indonesia dengan kekerasan yang dilakukan oleh militer Myanmar.

Ashin Wirahtu, bukanlah representasi umat Buddha seluruh Myanmar apalagi untuk Indonesia, sebagaimana Rizieq Shihab bukanlah representasi umat Islam seluruh Indonesia.

Sudah sejak lama militer Myanmar telah menyiksa, membunuh, dan memerangi kaum etnis tertentu di Myanmar dan ini bukan hanya terjadi bagi kaum Rohingya saja. Sekalipun sentimen agama punya peran yang penting dalam konflik Myanmar, terlalu sering sentiment agama dimanfaatkan oleh agenda-agenda politik tertentu.

Tindakan mendatangi candi Buddha apapun kamuflasenya, bukanlah sebuah ekspresi solidaritas atas krisis Rohingya. malah sebaliknya tindakan seperti ini lebih kelihatan sebagai sebuah arogansi dari mereka yang berpikir mereka berhak melakukan apa saja mereka yang mau karena mereka merasa paling berhak di negara ini.

Arogansi seperti ini sangat identik dengan apa yang militer Myanmar lakukan terhadap etnis Karen. Hanya oleh karena banyak anggota KNU adalah orang Kristen, maka gereja-gereja Karen harus dibakar dan diteror.

Hanya karena salah satu pemimpin anti-Islam di Myanmar adalah seorang biksu Buddha yang dilindungi oleh militer Myanmar, apakah lalu sekarang umat Buddha di Indonesia juga harus dimusuhi?

Lalu apa bedanya FPI dan kelompok sejenisnya dengan militer Myanmar?

Jangan-jangan FPI dan kawan-kawan memang telah lama belajar dari militer Myanmar kalau tindakan intimidasi seperti ini punya efek teror yang besar terhadap orang lain.

Kita lihat saja hari Jumat ini.

 

 

 

 

 

 

Mau Bela Rohingya? Bela Karen Juga Dong! | admin | 4.5