Kasihan, MK Tegaskan DPR Tak Bisa Ajukan Gugatan UU Pemilu
Utak atik gethuk ala Gerindra, Demokrat, PKS dan PAN tampaknya akan berakhir dengan aksi gigit jari yang sangat menyakitkan hati karena gagal maning, gagal maning dalam upaya mereka menjegal penetapan keputusan UU Penyelenggaraan Pemilu yang menetapkan ambang batas pemilihan presiden 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional.
Mulai dari aksi sinetron walk out yang mengharu-biru perasaan dalam Rapat Paripurna DPR sampai wacana gugatan ke Mahkamah Konstitusi akibat menelan pil pahit gagalnya perjuangan mereka untuk membuat Presidential Threshold menjadi 0 persen.
Prilaku ala badut yang mereka pertontonkan tanpa malu ini tidak ubahnya dengan menyatakan diri sebagai ahli ibadah namun riya’ mengiringi setiap langkah ibadah mereka. Mereka ini bagaikan seorang zahid tapi sering berkata dan berbuat ujub. Sound familiar?
Rencana Gugatan berupa uji materi terhadap UU Penyelenggaraan Pemilu oleh para golongan barisan sakit hati itu ke Mahkamah Konstitusi justru dipatahkan oleh Juru bicara Mahkamah Konstitusi, Fajar Laksono.
Fajar Laksono menegaskan bahwa Fraksi DPR RI tidak bisa mengajukan uji materil atas Undang-Undang Pemilu 2017 yang telah mereka sahkan. Para golongan barisan sakit hati tersebut dianggap tidak punya legal standing untuk mengajukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi karena mereka adalah pembentuk undang-undang tersebut.
“Dulu MK pernah memutuskan partai yang terlibat dalam pembentukan undang-undang tidak punya legal standing saat mengajukan pengujian ke MK. Mereka bagian dari pembentuk undang-undang tersebut”.
“Pertarungan di DPR adalah pertarungan antar kepentingan politik. Ketika kepentingan politik itu kalah tidak serta merta pindah ke ranah yudikatif,” ujar Juru bicara Mahkamah Konstitusi, Fajar Laksono.
Pernyataan Jubir MK diatas secara logika memang masuk akal, tepatnya masuk di akal sehat walafiat. Secara kelembagaan, DPR RI telah memutuskan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu, maka secara kelembagaan tidak bisa sesuatu yang sudah diputuskan lalu serta merta digugat kembali.
Dan juga partai yang ada wakilnya di DPR tidak bisa menggugat hasil paripurna DPR ke MK. Orang-orang yang tidak tahu aturan kayak gini kok bisa jadi anggota DPR. Heran.
Ibaratnya suami istri yang sudah resmi menikah, baru sehari menikah lalu sang suami dan sang istri gugat kembali untuk uji materi keabsahan pernikahan mereka. Padahal yang bisa menggugat keabsahan pernikahan tersebut hanyalah pihak luar yang merasakan dampak langsung kerugian dengan adanya pernikahan tersebut, misalkan istri sah dari sang mempelai pria yang menikah itu, atau sebaliknya suami sah dari sang mempelai wanita yang menikah secara diam-diam dengan sang mempelai pria.
Jadi kalau mau gugat dan mengajukan keberatan dengan terbentuknya Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu yang telah disahkan oleh DPR RI, maka bukan lagi dari pihak DPR yang mengajukan, melainkan dari pihak luar yang tidak terlibat langsung dalam pembentukan Undang-Undang Pemilu tersebut.
Dalam hal ini pihak lain diluar DPR RI yang mendapatkan dampak kerugian secara konstitusional dengan terbentuknya Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu yang telah disahkan tersebut.
Mereka pikir negara ini cuma tingkat kelurahan sehingga bisa seenaknya mereka permainkan. Padahal ketentuan Presidential Treshold sebesar 20 persen yang disahkan dalam UU Penyelenggaraan Pemilu tersebut sudah dua kali diterapkan di Pilpres dan tidak ada masalah, kenapa baru sekarang dipermasalahkan dan diributkan? Aneh.
Apa memang sengaja mau bikin gaduh untuk merongrong pemerintahan Presiden Jokowi? Kalau mau menggugat Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu, artinya niat perjuangan mereka bukan lagi dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat, melainkan dari partai, oleh partai, untuk Prabowo Subianto.
Jangan sombong, jangan aroganlah. Ingat rakyat yang punya kuasa jadi atau tidak jadinya Prabowo Subianto jadi Presiden Republik Indonesia. Tidak perlu harus merana mau nyapres, ini masih tahun 2017, sedangkan pilpres masih jauh di tahun 2019. Kelihatan banget sikap ambisius yang haus akan kekuasaan.
Yang penting ikut nyapres, kalau kalah pada putaran pertama, maka pada putaran kedua berkoalisi dengan parpol yang lolos, cuap-cuap, menyerang petahana. Kalau kalah gugat ke Mahkamah Konstitusi, lalu menanamkan kesan di masyarakat bahwa penyelenggaran Pemilu dilakukan secara curang yang terstruktur, masif dan terencana.
Lalu dengan jumawanya merongrong pemerintahan yang sah dengan harapan agar dianggap oposisi yang kritis. Kalau Tuhan belum berkehendak, mbok ya legowo. Semoga orang-orang seperti mereka tidak ada di Indonesia.
Kura-kura begitu.
http://www.tribunnews.com/nasional/2017/07/25/mahkamah-konstitusi-fraksi-dpr-tak-bisa-ajukan-uji-materil-undang-undang-pemilu