Ismail, Ishak, dan Hewan Kurban

Kaki-tangan para penyembah molokh jaman ini
Perayaan Idul Adha selalu mengingatkan saya pada anekdot Mendiang Gus Dur tentang pengorbanan Abraham atau Ibrahim. Gus Dur memang mewariskan begitu banyak kearifan sebagai negarawan sejati. Menanggapi berbagai masalah sekitar perbedaan, termasuk perbedaan keyakinan, beliau seringkali melontarkan anekdot-anekdot ringan yang sebenarnya bermakna solutif.
Dengan itu Gus Dur mau mengajarkan bagaimana seharusnya kita menyikapi perbedaan. Selama masing-masing pihak ngotot pada keyakinannya sebagai kebenaran mutlak, kebenaran sejati justru tidak akan ditemukan. Sebab mata kepala dan mata hati sudah tertutup rapat. Contoh yang selalu aktual dalam kaitan dengan Idul Adha, adalah pertanyaan tentang siapa sebenarnya yang hendak dikorbankan Abraham (Ibrahim): Ismail atau Ishak?
Bapa Orang-orang Beriman / Mu’min
Sebelum melanjutkan refleksi kritis atas pertanyaan diatas, mari kita tempatkan dulu kisah Abraham dalam pandangan ketiga agama samawi. Bagi ketiga agama samawi, yakni (secara kronologis) Yahudi, Kristen dan Islam, Abraham punya kedudukan dan arti yang sangat penting. Agama Yahudi dan Kristen menyebutnya dengan nama Abraham, Islam dengan nama Ibrahim.
Islam menganggap Ibrahim sebagai bapaknya orang-orang mu’min, karena Allah menetapkannya demikian. Ia adalah contoh ideal dari seorang yang disebut mu’min, yang ditunjukkannya dengan penyerahan diri yang sempurna kepada Allah, dengan kesediaannya untuk menyembelih anak kesayangannya.
Agama Yahudi memandang Abraham sebagai leluhur mereka. Di dalam Kitab Suci Ibrani, Allah sering menyatakan diri-Nya sebagai “Allah Abraham, Ishak, dan Yakub“. Hal ini misalnya terjadi ketika Allah menyatakan diri kepada Musa di padang belantara Midian:
“Lagi Ia berfirman: ‘Akulah Allah ayahmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub.’ Lalu Musa menutupi mukanya, sebab ia takut memandang Allah.” (Kel 3:6).
Bagi orang Kristen, Abraham adalah bapak orang percaya. Imannya menjadi teladan bagi semua orang Kristen. Surat Ibrani mengatakan demikian:
“Karena iman Abraham taat, ketika ia dipanggil untuk berangkat ke negeri yang akan diterimanya menjadi milik pusakanya, lalu ia berangkat dengan tidak mengetahui tempat yang ia tujui… Karena iman maka Abraham, tatkala ia dicobai, mempersembahkan Ishak. Ia, yang telah menerima janji itu, rela mempersembahkan anaknya yang tunggal” (Ibrani 11:8, 17).
Jadi, Abraham adalah bapak yang sama bagi ketiga agama ini, sekaligus mengingatkan bahwa ketiga-tiganya mempunyai akar yang sama, yaitu monoteisme. Untuk itu Abraham disebut juga sebagai Bapak Monoteisme Dunia, karena beliaulah yang pertama-tama percaya pada satu Allah di tengah politeisme pada jamannya.
Anekdot Gus Dur
Kita sudah sama-sama tahu, Ismail adalah putra pertama Abraham dari isteri kedua, Hagar (Islam: Hajar). Ishak adalah anak kedua, tetapi dari isteri pertamanya, Sara. Sebagai isteri pertama, Sara memang menyerahkan Hagar, budaknya dari Mesir, untuk dikawini Abraham agar mendapat keturunan. Sebab, hingga umurnya yang sudah renta dan sudah mati haid, Sara belum juga dikarunia anak. Ketika Ismail sudah berumur 13 tahun, lahirlah Ishak dari rahim Sara sendiri, sebagai Anak Perjanjian.
Singkat ceritera, Ismail dan Ishak tumbuh bersama dan bermain bersama sebagai saudara dari bapak yang satu dan sama. Sampai suatu ketika Sara mulai khawatir tentang warisan, lalu mendesak Abraham untuk mengusir Hagar bersama Ismail dari rumah mereka.
Fakta historis inilah yang melatarbelakangi pertanyaan tentang siapa yang hendak dikorbankan Abraham. Umat Islam umumnya mendasari pandangan mereka atas ayat Kej 22:2:
“Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu.”
Mereka beranggapan karena Ismail adalah anak tunggal Abraham selama 13 tahun sebelum Ishak lahir, maka anak yang disebut dalam Kej 22:2 ini mestinya Ismail, bukan Ishak. Memang perlu dicatat, ayat-ayat Al Qur’an sendiri tidak menyebutkan secara eksplisit siapakah nama anak Abraham yang hendak dikorbankan itu (Lihat Surat Ash-Shaffat ayat 100-113).
Sedangkan Kitab Suci Kristen, baik Perjanjian Lama (Kej 22: 2, 3, 6, 7, 9) maupun Perjanjian Baru (a.l. Ibr 11:17, Yak 2:21) jelas menyebutkan secara eksplisit bahwa anak yang dikorbankan ini adalah Anak Perjanjian, yakni Ishak.
Yang menarik adalah pendapat seorang scholar Muslim bernama Shaykh Hamza Yusuf dari Zaytuna Istitute, yang menyatakan:
“Ini adalah anak yang diberikan kepada Ibrahim, dan terdapat perbedaan pendapat tentang siapakah anak ini. Mayoritas scholar di abad-abad terakhir mengatakan bahwa ia adalah Ismail, namun banyak dari scholar di abad-abad terdahulu mengatakan ia adalah Ishak…. Hal ini seharusnya tidak menjadi bahan perdebatan antara umat beriman, itu bukan inti dari ceritanya. Keduanya adalah pendapat yang valid/sah”. (Shaykh Yusuf, There is No Calamity if there is Certainty).
Kiranya Gus Dur punya cara pandang yang sama, tercermin dari jawabannya yang ringan dan lucu terhadap pertanyaan dogmatis yang (di)rumit(kan) itu. Bagaimana kisahnya?
Mahfud MD adalah salah satu orang terdekat dan mantan menteri dalam pemerintahan Presiden keempat RI, Abdulrahman Wahid yang lebih akrab disapa Gus Dur. Mahfud mengisahkan, setiap hari Selasa, Gus Dur dan para menteri kerap sarapan bersama di kediaman Wakil Presiden Megawati. Dalam salah satu kesempatan itulah Gus Dur bercerita tentang perbedaan versi kisah Nabi Ibrahim yang akan menyembelih anaknya.
Seperti sudah dijelaskan diatas, dalam versi Islam anak Ibrahim yang akan dikorbankan adalah Ismail. Sementara menurut agama Yahudi dan Kristen yang hendak dikorbankan adalah Ishak. Suatu ketika, Gus Dur ditanya versi mana yang benar. Anak yang mana yang hendak dikorbankan sang ayah: Ismail ataukah Ishak? Dengan enteng Gus Dur menjawab:
“Dua-duanya, baik Ismail maupun Ishak, tidak jadi disembelih. Jadi buat apa diributkan?” Tentu di belakangnya mesti ditambahkan kalimat populer itu “Gitu aja kok repot”.
Lalu dimana inti atau kebenaran sejati dari kisah ini? Untuk menemukannya, kita harus menempatkan kisah tersebut dalam konteks jamannya.
Konteks dan Pesan Pewartaan
Kisah tentang “Ujian Iman Abraham (Ibrahim)” memang harus ditempatkan dalam konteks jamannya. Sebagai monoteis pertama, Abraham dikelilingi bangsa-bangsa politeis yang menyembah dewa-dewa. Salah satu dewa paling menakutkan adalah sembahan bani Amon yang disebut Molokh. Dan ritual paling menyeramkan kepada dewa Molokh itu adalah mengorbankan anak laki-laki (sulung) sebagai persembahan (2 Raj 23:10, Im 8:21; 20:2-5).
Keluaran 13:1-16, tentang pemisahan anak sulung, adalah suatu perintah yang menyerukan agar anak sulung dikuduskan bagi Tuhan (bukan mengorbankan anak sulung tersebut). Perhatikan Keluaran 13:13: perintah ini melarang dengan tegas pengorbanan anak-anak dan merupakan perluasan dari Keluaran 13:2.
Hukum tentang anak sulung (bdk dengan Kel 22:29; Ul 15:21-22) pada ayat 12 “Haruslah kaupersembahkan bagi TUHAN”, adalah kata yang biasa dipakai untuk melukiskan kebiasaan kafir mempersembahkan anak mereka kepada dewa mereka (2 Raja 16:3; Yehezkiel 20:31). Kata ini sengaja dipakai untuk menandai perbedaan antara kewajiban ini dengan upacara persembahan kafir itu. Ayat 13, ada ketentuan keledai tidak dipakai untuk persembahan, dan harus diganti dengan seekor anak domba. Anak sulung manusia harus ditebus dengan perak, demikian akan ditetapkan kemudian (Bilangan 3:47; 18:17).
Dengan demikian, kisah pengorbanan Abraham adalah penegasan imperatif yang sangat kuat untuk melarang pengorbanan anak laki-laki. Anak-anak itu harus dikuduskan dan dipersembahkan kepada Tuhan, tetapi tidak dengan cara disembelih. Karena itu, setelah melarang menyembelih anaknya, Tuhan memberi pengganti kepada Abraham: domba jantan. Kej 22:13-14 menegaskan hal itu:
“Lalu Abraham menoleh dan melihat seekor domba jantan di belakangnya, yang tanduknya tersangkut dalam belukar. Abraham mengambil domba itu, lalu mengorbankannya sebagai korban bakaran pengganti anaknya. Dan Abraham menamai tempat itu: “TUHAN menyediakan”; sebab itu sampai sekarang dikatakan orang: “Diatas gunung TUHAN, akan disediakan”.
Dengan itu jelaslah inti atau kebenaran sejati yang menjadi pesan pewartaan dari kisah ini: jangan korbankan anak manusia untuk menyembah Allah; Sembelilah hewan korban.
Itu jugalah yang ditegaskan kembali oleh Gus Dur: “Baik Ismail maupun Ishak, tidak jadi disembelih. Jadi buat apa diributkan?”
Dengan itu kiranya Gus Dur mau mengingatkan:
(1) bahwa sesama manusia tidak boleh dijadikan korban sembelihan untuk menyembah Allah. (2) berhentilah memersoalkan dan meributkan sesuatu yang bukan masalah (3) carilah pesan dan makna hakiki dari suatu kisah, jangan berhenti pada huruf-hurufnya
Molokh-molokh Jaman ini dan Pesan Universal Idul Adha
Patut disayangkan, pesan dan makna hakiki dari kisah pengorbanan Ibrahim nampaknya dilupakan oleh sekelompok orang yang mengklaim diri paling benar sendiri. Mereka tidak segan-segan mengorbankan sesama sembari meneriakkan nama Allah. Mereka bahkan mengajari anak-anak yang masih polos untuk membunuh, dengan menyanyikan “Bunuh, bunuh si Ahok sekarang juga” dalam ritual keagamaan. Agama macam apa itu?
Kita pun bertanya: adakah mereka masih beriman pada Allah Ibrahim, atau allah lain yang mereka ciptakan sendiri demi kepentingan kekuasaan? allah yang mereka bisa dikte untuk melakukan keinginan, syahwat kekuasaan dan ambisi politik mereka. allah seperti itu pasti bukan Allah Ibrahim, malah lebih dekat dewa molokh yang menuntut pengorbanan manusia.
Wajah molokh memang selalu tampil dalam berhala-berhala jaman ini: kekuasaan, uang, jabatan, popularitas, kenikmatan sesaat dan sesat ….. dan untuk itu manusia membenci, membohongi, memeras, menyingkirkan, menjatuhkan bahkan membunuh sesamanya. Mengorbankan sesama! Terbongkarnya kasus First Travel dan tertangkapnya pentolan-pentolan organisasi penyebar kebencian-kebohongan Saracen menjadi bukti tak terbantahkan.
Dan cara termudah untuk memengaruhi dan menggiring orang-orang bodoh (atau mudah dibodoh-bodohi) adalah dengan mengatasnamakan agama dan ayat-ayat suci, bahkan allah. Ketika mereka mengkafir-kafirkan orang yang berbeda dengan mereka, lalu menghalalkan darahnya, tidakkah mereka justru menghadirkan kekafiran penyembah berhala molokh yang kejam itu?
Para penyembah molokh jaman ini telah menumbuh-suburkan hate industry, hoax industry dan riot industry. Merekalah yang berada di belakang Saracen, baik sebagai backing, penasehat maupun pengguna jasa atau klien. Berlagak negarawan, tetapi sebenarnya politikus pun tidak pantas. Lebih pantas disebut tikus-tikus politik. Pengerat dan pencuri yang senang kegelapan.
Maka, dengan kisah ini dan anekdot Gus Dur, kita diingatkan lagi dan lagi bahwa KITA, para penganut agama-agama samawi, adalah anak-anak dari Bapa Ibrahim, bapak kaum mukmin / beriman yang menyembah Allah yang satu dan sama. Bukan, dan tidak boleh jatuh menjadi penyembah Molokh.
Keyakinan ini melengkapi kenyataan bahwa KITA semua adalah saudara kandung dari Ibu Pertiwi yang satu dan sama, Indonesia. Karena itu mestinya saling menerima, saling menjaga dan saling melindungi, bukan sebaliknya.
Bagi saya yang bukan Muslim tetapi meyakini diri sebagai anak (dalam iman) dari Bapa Abraham, itulah pesan universal Idul Adha yang selalu aktual. Mengorbankan hewan kurban untuk berbagi dan bersesama. Menyembah Allah sembari memuliakan sesama manusia, ciptaanNya yang paling luhur. Merayakan ketaatan iman sembari membaharui kesetiaan kepada Ibu Pertiwi.
Selamat Idul Adha untuk saudara-saudari Muslim.
Diolah dari Sumber:
- https://aswajanucenterjatim.com/berbagi/gus-dur-santai-gus-dur-serius/
- http://gusmendem.blogspot.co.id/2012/09/siapakah-sebenarnya-yang-dikorbankan.html
- http://www.katolisitas.org/anak-yang-dikurbankan-abraham-ishak-atau-ismael/
- https://novsupriyanto93.wordpress.com/2013/09/18/pengujian-atas-iman-abraham-kejadian-22,1-19/