simple hit counter

Dua Nama Calon Sekda DKI, Diindikasi Merapat Kepada Partai Politik

Pemilihan Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta sudah selesai. Namun, hal yang paling ironi setelah pemilu adalah ‘bagi-bagi kue’ alias bagi-bagi kekuasaan di sejumlah jabatan kepala dinas. Berdasarkan informasi, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sangat terobsesi untuk mendapatkan jabatan Sekretaris Daerah (Sekda). Sejumlah nama pun sudah dia dapatkan. Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Agus Suradika dan Sugianto Ketua Koalisi Rakyat Pemerhati Jakarta Baru (Katar).

Di sisi lain, posisi strategis tersebut harus berasal dari pejabat eselon dua. Namun, saya cukup terkejut dengan salah penyataan beberapa orang pendukung Anies-Sandi. Menurut berita yang dilansir dari jpnn.com, Senin (31/7/2017), Sugiyanto juga menekankan pentingnya politik transaksional dalam menyusun kabinet baru Anies-Sandi. Sebab, keberhasilan pasangan itu memangkan Pilkada DKI 2017 tak lepas dari pengorbanan partai politik pengusung maupun pendukung.

Khusus untuk posisi sekda, Sugiyanto menilai sewajarnya jadi jatah PKS sebagai partai pengusung. Mengingat partai pengusung lainnya, Gerindra sudah punya Sandiaga yang duduk di kursi wakil gubernur.

”Kami kira sangat wajar karena PKS tidak dapat posisi gubernur dan wakil sehingga posisi sekda wajar diperoleh PKS. Jadi, siapa pun para pejabat DKI yang berpotensi menjadi sekda segeralah merapat ke PKS,” terang anggota Presidium Relawan Anies-Sandi (Pras) itu.

Dari pernyataan tersebut, sejumlah nama yang sudah disebutkan tersebut sudah merapat kepada partai politik. Dalam pertarungan politik daerah, sebenarnya bukan hal yang aneh jika para PNS merapat kepada beberapa calon pemimpin daerah. Hal ini, tentunya akan berdampak pada mulusnya karir dipemerintahan.

Perlu diingatkan, bahwa PNS itu harus bebas dan netral dari politik. Hal tersebut juga diatur dalam Undang-undang. PNS merupakan Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) yang diangkat sebagai pegawai tetap oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dan memiliki nomor induk pegawai secara nasional. Hal ini disebut dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN).

Dalam upaya menjaga netralitas ASN dari pengaruh partai politik dan untuk menjamin keutuhan, kekompakan, dan persatuan ASN, serta dapat memusatkan segala perhatian, pikiran, dan tenaga pada tugas yang dibebankan, ASN dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.[1]

Ketentuan ini dipertegas dalam Pasal 9 ayat (2) UU ASN. Pasal tersebut berisi Pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik.Jika sudah berstatus sebagai PNS namun menjadi anggota/pengurus partai politik, maka sanksinya adalah Anda diberhentikan tidak hormat.

Anda mengatakan bahwa Anda masih berstatus sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil. Ini berarti Anda adalah peserta yang telah lolos seleksi pengadaan PNS oleh Instansi Pemerintah melalui penilaian secara objektif berdasarkan kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan lain yang dibutuhkan oleh jabatan, yang kemudian diangkat menjadi CPNS.

Sebagai CPNS, Anda masih harus menjalani masa percobaan yang dilaksanakan melalui proses pendidikan dan pelatihan terintegrasi untuk membangun integritas moral, kejujuran, semangat dan motivasi nasionalisme dan kebangsaan, karakter kepribadian yang unggul dan bertanggung jawab, dan memperkuat profesionalisme serta kompetensi bidang.

Bagaimana dengan Calon PNS? Apakah aturannya sama?

Sebagai acuannya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2004 tentang Larangan Pegawai Negeri Sipil Menjadi Anggota Partai Politik. Hal tersebut sebagai pelaksana dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Undang-undang tersebut diubah dengan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 dan kemudian dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh UU ASN.

Namun PP 37 tahun 2004 sebagai pelaksana dari UU Kepegawaian masih dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan UU ASN. Di dalam konsiderans PP 37 tahun 2004 disebutkan bahwa pegawai negeri sebagai unsur aparatur negara harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik. Serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Begitu juga dengan dilarang menjadi anggota dan atau pengurus partai politik. Oleh karena itu, pegawai negeri yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai poiitik harus diberhentikan sebagai pegawai negeri, baik dengan hormat atau tidak dengan hormat.

Jika salah seorang nama yang disodorkan benar menjadi Sekda DKI Jakarta, maka tamatlah sudahlah nasib DKI Jakarta. Posisi ASN ini, menjadi pengawal dari setiap program yang akan dilaksanakan oleh pemimpin daerah baru. Program-program baru dari pemimpin daerah baru, jika memang tidak bisa dilaksanakan tinggal dilakukan perbaikan. Dalam hal ini, program baru tersebut harus disesuaikan dengan kebutuhan DKI Jakarta. Bukan malah membenani Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Dua Nama Calon Sekda DKI, Diindikasi Merapat Kepada Partai Politik | admin | 4.5