simple hit counter

(Analisa) Strategi Jokowi Menghadapi Popularitas Jenderal Gatot Jelang Pilpres 2019

Tak dapat dipungkiri bahwa Prabowo pasti akan mengikuti laga panas Pilpres 2019 nanti. Tentu ia akan menggunakan jaringan-jaringan militernya, dalam hal ini TNI AD. Memang TNI tak berpolitik secara langsung, tapi kita lihat kini TNI yang diwakili oleh Jenderal Gatot Nurmantyo tengah melakukan manuver-manuver politik.

Yang menyedihkan adalah panggung Pilpres kini direbut oleh Jenderal Gatot. Popularitasnya melesat dari hari ke hari. Kini, ia digadang-gadang sebagai representasi kelompok oposisi pemerintah. Bahkan, duet Prabowo-Gatot dianggap yang paling ideal untuk memenangkan Pilpres 2019.

Pak Jokowi tahu bahwa mau tidak mau ia telah membesarkan nama Jenderal Gatot. Bahkan menjelang pensiunnya nanti pada Maret 2018, Jenderal Gatot punya nilai tawar yang tinggi untuk memenangkan Pilpres.

Ketika Jenderal Gatot pensiun pada Maret 2018 nanti, jabatan Panglima TNI setelahnya sangat menentukan hasil Pilpres 2019 meski kita tahu bahwa hasil akhirnya hanya Tuhan yang tahu.

Karena posisi Panglima TNI sangat menentukan elektabilitas incumbent, tentunya Pak Jokowi harus berhati-hati dalam memilih calon pengganti Jenderal Gatot. Karena jika salah pilih, nama Jenderal Gatot akan makin melesat, dengan posisinya sebagai lawan politik Pak Jokowi.

Sebenarnya, Pak Jokowi sudah punya satu nama. Yakni Marsekal TNI Hadi Tjahjanto Kepala Staf Angkatan Udara. Karir militer Marsekal Hadi sangat brilian dan meroket. Dari bintang 1 ke bintang 4, ia cuma butuh waktu tiga tahun. Prabowo saja yang menantu dari Presiden saat itu tak mampu meraih prestasi secemerlang itu.

Apalagi, Marsekal Hadi juga pernah menjadi Sekretaris Militernya Presiden pada 2015-2016. Sehingga, tidak perlu ditanya lagi kedekatannya dengan Presiden. Bahkan dari tiga nama yang dicalonkan untuk menjadi KASAU, Marsekal Hadi yang terpilih.

Marsekal Hadi merupakan sosok yang ideal dengan selera Pak Jokowi. Muda, tangguh juga berprestasi. Ia tak ubahnya dengan Jenderal Tito. Dan Marsekal Hadi memang “Jokowi banget”.

Apakah Pak Jokowi bisa mengangkatnya sebagai Panglima TNI? Secara otoritas Presiden punya wewenang untuk mengangkatnya sebagai Panglima. Tapi, kalau dilihat hitung-hitungan politisnya, banyak sekali hambatannya.

Pertama adalah masalah senioritas. Sebab, TNI beda jauh dengan Polri. Senioritas di TNI begitu kuat. Bahkan seorang Jenderal yang sudah pensiun pun masih punya kekuatan. Tentu, dengan usianya yang masih 54 tahun, sebuah tantangan besar menanti di depan.

Kedua, Marsekal Hadi berasal dari AURI. Apakah ini sebuah masalah? Tentu ini sebuah masalah. Mengapa TNI baru sekarang-sekarang ini mengangkat secara sengit isu G30S/PKI? Karena ini berkaitan dengan masalah pengganti Jenderal Gatot.

Stereotip bahwa AURI merupakan pihak yang terlibat dengan G30S/PKI masih tersimpan dalam sejarah kelam militer. Itulah mengapa sangat sulit Panglima TNI diambil dari angkatan udara. Kebanyakannya diambil dari angkatan darat.

Lalu bagaimana strategi Pak Jokowi jika Marsekal Hadi tak bisa dicalonkan melihat situasi yang ada?

Sudah saya katakan di awal bahwa peran Panglima TNI untuk Pilpres 2019 amat vital. Dan semuanya ditujukan untuk “menggembosi” popularitas Jenderal Gatot yang sudah terlanjur melambung.

Masalahnya sekarang adalah selain Marsekal Hadi dari KASAU, belum ditemukan calon lain yang ideal. Kalau diambil dari KASAD maupun KASAL, keduanya pensiun lebih cepat. Sehingga performanya terlalu singkat untuk mengalahkan kharisma Jenderal Gatot.

Kalau semua mentok, maka jalan keluar yang dapat Presiden tempuh adalah besarkan terus nama Jenderal Gatot. Mengapa harus dibesarkan, bukankah Jenderal Gatot sudah mulai memperlihatkan manuver-manuver politik oposannya?

Sederhana sekali. Ini bukan masalah gelagat politik oposan yang diperlihatkan sang Jenderal. Tapi ini masalah “merangkul” TNI untuk mendapatkan kepercayaan publik yang telah disusupi isu PKI dan komunisnya.

Tidak ada yang ideal dalam politik. Bahkan kehadiran Pak Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden lebih kepada “hitung-hitungan politik”.

Jadi, jika tidak ada yang bisa menggembosi popularitas Jenderal Gatot dengan perantaraan Panglima TNI yang baru, mengapa Presiden tidak menambah masa jabatan sang Jenderal melalui Perppu?

Bukankah hal ini pernah dilakukan Presiden kepada Jenderal Badrodin Haiti? Walaupun hasilnya gagal, tapi perpanjangan masa tugas itu legal.

Sehingga, daripada harus berhadapan dengan Jenderal Gatot yang namanya makin harum, lebih baik menjaganya agar tidak jadi lawan politik incumbent.

Sekiranya pasangan Jokowi-Gatot berhasil diformulasikan untuk Pilpres 2019 nanti, saya khawatir Prabowo benar-benar kehilangan panggungnya.

Tulisan ini merupakan buah dari pandangan ciamiknya Rudi Valinka alias @kurawa

(Analisa) Strategi Jokowi Menghadapi Popularitas Jenderal Gatot Jelang Pilpres 2019 | admin | 4.5