Amerika Serikat, Kebangkitan Kaum Radikal Kanan, dan Ancaman Pluralisme Global
Berawal dari rencana pemindahan patung Robert E Lee di Charlottesville, Virginia, oleh pemerintah setempat yang menuai kecaman dari kelompok kulit putih Amerika Serikat. Warga kulit putih menganggap bahwa Robert E Lee adalah salah satu pahlawan yang berjuang untuk Amerika Serikat.
Kontras dengan warga kulit putih, warga kulit hitam, yang tergabung dalam pergerakan sosial Black Lives Matter, yang memberikan dukungan hak-hak kesetaraan untuk warga Amerika Serikat keturunan Afrika, menentang berdirinya patung Robert E Lee. Hal ini disebabkan oleh keberpihakan Robert E Lee terhadap perbudakan dan penindasan kaum kulit hitam.
Warga kulit putih yang menolak diturunkannya patung pahlawan mereka, mengadakan pawai disepanjang kota Charlottesville yang menelan korban. Mereka juga kerap menggaungkan slogan antiimigran, rasis, dan satukan kelompok kanan. Organisasi radikal kulit putih seperti Ku Klux Klan (KKK) dan Neo-Nazi yang terkenal tidak tanggung-tanggung dalam menggunakan kekerasan untuk membela ideologi rasis mereka adalah penggerak terbesar adanya parade di Charlottesville ini.
(Sumber : http://www.bbc.com/indonesia/dunia-40918479)
Jika diulas kembali mengenai sejarah politik di Amerika Serikat, negara ini sudah mengalami kemajuan yang sangat signifikan dengan terpilihnya presiden Barack Obama. Presiden kulit hitam pertama yang berideologi liberal. Presiden Obama berhasil mulai menghapus rasisme yang ada di Amerika Serikat. Kaum minoritas seperti kaum kulit hitam dan imigran mulai mendapat hak-hak setara dengan kaum mayoritas.
Donald Trump dan Kebangkitan Radikal Kanan
Presiden Obama berhasil menjadi sosok baru yang membawa perubahan di Amerika Serikat. Ketika figur minoritas dapat memimpin, berada di hirarki paling atas pada negara yang sebelumnya sangat menindas kaum minoritas, hal ini membuktikan bahwa kaum minoritas sebenarnya mampu. Kaum minoritas berhak untuk mendapat hak setara dengan mayoritas. Terdapat contoh yang sangat jelas kredibel memimpin negara dan mampu mengubah pola pikir warga Amerika Serikat yang dulunya meremehkan kulit hitam.
Dua periode sudah Obama memimpin, keadaan berbalik, Partai Demokrat dengan calonnya Hilary Clinton tidak dapat memenangkan pemilu dan terpilih lah Donald Trump, si super konservatif, menjadi presiden Amerika Serikat. Kampanyenya menggebu-gebu mengatakan anti imigran Timur Tengah, pengeluaran LGBT dari militer, pengurangan alokasi dana untuk subsidi kesehatan, dan lain-lain yang menuai kontroversi. Namun dapat disimpulkan bahwa sosok Trump ingin menjadikan Amerika dengan image negara dengan warga kulit putih yang dominan dan hebat. Tidak ada ras lain di Amerika yang lebih hebat dari kulit putih.
Dengan munculnya Trump yang sangat mengelu-elukan warga kulit putih sebagai kaum utama di Amerika Serikat, tentu saja hal ini membangkitkan kelompok radikal kulit putih yang sempat mendem karena pada era Obama kurang dapat bersuara. Trump dilihat sebagai momentum bangkitnya kelompok radikal kulit putih karena berbagai pernyataan dan sikapnya yang sangat anti pluralisme.
Tidak heran mengapa kelompok radikal kulit putih begitu berani mengadakan parade di Charlottesville, meskipun sudah dikecam oleh Trump sendiri. Namun tampaknya kecaman itu masih kurang berarti karena parade kaum radikal kulit putih masih saja berlangsung.
Menurut saya, parade di Charlottesville hanyalah momentum bagi kaum radikal kanan untuk maju. Karena sebelumnya kurang mendapat sorotan dalam pemerintahan Obama. Parade di Charlottesville hanyalah salah satu dari bentuk pergolakan-pergolakan lainnya yang sangat mungkin terjadi, bahkan lebih parah, untuk mendukung supremasi kulit putih. Terlebih, sikap pemerintah yang kurang tegas semakin memungkinkan kaum radikal kanan untuk unjuk gigi.
Ancaman Anti-Pluralisme Global
Momentum di Charlotesville dapat pula menjadi momentum bagi kaum radikal rasis di belahan dunia lainnya untuk mulai unjuk gigi atau semakin unjuk gigi. Mengapa demikian? Amerika Serikat selama ini dikenal sebagai negara dengan sejarah rasis, namun mulai menunjukkan keberagamannya saat era Presiden Obama. Amerika Serikat menjadi salah satu contoh negara yang menghormati kaum minoritas dengan sejumlah kebijakan Obama yang pro-minoritas.
Dengan kebangkitan radikal kanan maka Amerika Serikat pun menjadi contoh bagaimana kaum minoritas dapat ditekan. Amerika menjadi contoh bahwa kaum minoritas kini tidak lagi setara dengan mayoritas, sehingga pendapat mereka yang seharusnya juga diperhitungkan dapat dibiarkan begitu saja. Yang penting yang kuat berkuasa.
Oleh karena itu, negara-negara yang memiliki isu ras yang sensitif, termasuk Indonesia, perlu menegaskan warga negaranya untuk menghargai keberagaman. Salah satunya dengan memberikan contoh dari petinggi-petinggi pemerintahan dan publik figur untuk bersikap pluralis. Agar apa yang terjadi di negara adidaya sana tidak mendapat dukungan dari masyarakat untuk diterapkan.
Ancaman anti-pluralisme kini semakin serius di masyarakat. Jika tidak serius ditanggapi, kita bisa memulai zaman dimana banyak orang egois dengan pemikirannya masing-masing. Banyak orang menganggap dirinya lebih hebat daripada orang lain hanya karena alasan jasmaniah yang kita saja tidak dapat memilih mau jadi seperti apa. Kemampuan intelektual dan semua yang dengan perjuangan diraih semakin didiskreditkan.