Mencaci Myanmar dan Israel, Melupakan Yaman
Ada banyak tragedi kemanusiaan terjadi di atas bumi ini. Sebut saja tragedi kemanusiaan di Rakhine (Myanmar), Gaza (Palestina-Israel), Yaman, Syria, Sudan, Libya dan beberapa tempat lainnya. Hal ini menunjukkan pada kita, betapa manusia bisa menjadi “hewan” yang buas, tidak memanusiakan manusia lainnya, hanya tertawa melihat darah dan nyawa terbuang sia-sia. Terlepas dari apapun agamanya, kita harus menyadari bahwa penyebab dari semua kejadian tersebut adalah rendahnya nilai kemanusiaan. Tidak ada satu agamapun yang mengajarkan kebencian, pembunuhan, serta tindak kekerasan lainnya. Semua agama mengajarkan cinta, kasih dan saling menjaga antar umat manusia.
Kenapa ada umat beragama yang bisa melakukan pembunuhan, pembantaian dan lain sebagainya? Hanya ada tiga alasan, pertama pelaku tersebut tidak punya Tuhan, kedua pelaku tersebut tidak takut dengan Tuhan, ketiga pelaku tersebut merasa dirinya tuhan. Ketiganya punya satu ciri khas, yakni bukan karakteristik orang yang beragama.
Dari semua kejadian tersebut, ada dua kasus yang paling sering diperdengarkan ke ruang publik, memenuhi laman media sosial dan foto-foto kejadiannya baik foto asli, maupun foto palsu bersliweran di dunia maya. Dua kasus tersebut adalah kasus di Rakhine dan Gaza. Rakhine membuat ratusan etnis Rohingya meninggal dunia, dan 38 ribu orang etnis Rohingya harus kabur dari Myanmar, namun ditolak oleh negeri asalnya, Bangladesh. Mereka terombang-ambing, lalu beredar ke seluruh tempat di Asia Tenggara, seperti Thailand, Malaysia dan Indonesia.
Tragedi selanjutnya adalah tragedi Gaza, yang merupakan buah konflik dari Israel – Palestina. Sekolah, masjid, rumah warga dan lain-lain di Gaza, dihancurkan. Sedangkan jumlah korban terus berjatuhan. Perang terus berkecamuk, meski sejak awal 2017 ini, sudah perlahan mulai meredam. Begitu juga kasus yang terjadi di Syria, Yaman, Sudan, Libya dan masih banyak deretan kejadian tragedi kemanusiaan terjadi di dunia. Jumlah korban tidak terhitung, mayat bergelimpangan, anak-anak kehilangan orang tua, ada juga orang tua yang kehilangan anak dan anggota keluarga lainnya. Entah sampai kapan tragedi ini akan berakhir, sedangkan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) terus dituntut oleh warga dari negara lainnya untuk dapat menyelesaikan semua ketegangan tersebut dalam waktu yang singkat.
Kembali ke negeri kita tercinta, Indonesia raya. Tentu saja, sebagai sesama manusia, ada banyak tindakan dan kepedulian yang dilakukan oleh warga Indonesia untuk beberapa kejadian kemanusiaan tersebut. Mulai dari berbagai acara, penggalangan dana dan sebagainya. Hanya saja, sejauh mata memandang dan telinga mendengar, kepedulian tersebut hanya diarahkan pada dua kejadian yang mendominasi, yakni tragedi kemanusiaan di Myanmar dan Palestina. Kenapa hanya di dua tempat itu yang mayoritas menjadi perhatian lebih dari kebanyakan acara penggalangan dana dan bantuan di Indonesia, entahlah. Mungkin ada kaitannya dengan sentimentil agama.
Terbaru, ada kumpulan warga Indonesia yang akan menggelar aksi dengan tajuk “bela Islam” yang ditujukan untuk korban tragedi kemanusiaan di Myanmar. Kegiatan yang rencananya akan digelar pada tanggal 8 September mendatang justru akan dilakukan atau dipusatkan di Candi Borobudur, peninggalan sejarah besar Indonesia yang tercatat dalam keajaiban dunia. Bila memang ditujukan sebagai “isu agama”, maka aksi dilakukan di Borobudur sepertinya kurang tepat. Salah satunya, bila kita kesampingkan sumber masalah, lalu fokus pada isu “Budha-Islam” maka yang perlu digarisbawahi adalah Buddha Myanmar beraliran Theravada, sedangkan Candi Borobudur adalah Buddha aliran Mahayana. Kira-kira seperti ingin mendemo Ahmadiyah, tapi mendatangi kantor Muhamadiyah atau NU, atau ingin demo Syiah, tapi dilakukan di depan markas FPI, semacam itulah.
Tentu saja, kita berharap masyarakat Indonesia bisa lebih dewasa menanggapi kasus tragedi kemanusiaan tersebut, agar tidak merembet terjadinya sentimen antar umat beragama yang akan berujung pada retaknya kerukunan antar umat beragama yang selama ini terjadi di Indonesia.
Untuk saat ini, harus diakui bahwa tragedi yang terjadi di Yaman sepertinya begitu terlupakan oleh masyarakat Indonesia. Nyaris tak terdengar adanya kegiatan atau hal lainnya yang ditujukan untuk menunjukkan kepedulian terhadap warga Yaman yang menjadi korban. Data dari PBB, seperti yang diungkapkan koordinator badan kemanusiaan PBB untuk Yaman, Jamie McGoldrick, ada lebih dari 10.000 orang yang meninggal dunia sejak konflik ini terjadi. Jumlah itu belum termasuk korban luka atau cacat, yang tercatat lebih dari 40.000 orang. Kalian tahu, mayoritas anak-anak dan perempuan yang berada di angka jumlah tersebut. Apa yang terjadi? Kenapa tidak ada kepedulian terhadap saudara kita di Yaman?
Dengan alasan “menyelesaikan masalah”, puluhan ribua warga Yaman yang mayoritas beragama Islam telah menjadi korban. Semuanya dipicu dari konflik antara Houthi yang Syiah dengan koalisi yang dipimpin Arab Saudi yang pro pemerintah Yaman, terjadi sejak awal tahun 2015 silam. Lebih dari 21 bulan, atau nyaris dua tahun, negara itu mencekam, penuh perang dan desingan peluru dan bau amis darah dari korban yang terus berjatuhan. Mari lebih peduli pada kemanusiaan, karena sebagai umat beragama, tentu kemanusiaan harus dijunjung tinggi. Terserah apapun agamanya, seperti umat Kristen dan Yahudi yang termasuk warga Palestina juga ikut menjadi korban di Gaza, juga beberapa umat Budha namun etnis Rohingya juga ikut terusir dan jadi korban di Myanmar.
Tunjukkan kepedulian karena kita sama-sama manusia, terlepas dari apapun agamanya. Kekerasan atas manusia tidak dibenarkan dalam tujuan dan dasar apapun, meski mereka pelaku kriminal sekalipun.