Dasar Semprul! Isu Intoleransi Beragama Kerap Jadi Senjata Politik
Sejatinya memang kurang ajar, ketika politik yang dimainkan para politisi dan konsultan politik di Indonesia adalah politik semprul. Politik semprul adalah politik yang paling jelek di dunia. Mengingat, semprul adalah jenis tembakau yang paling tidak bermutu. Ketika nekat dibuat sebagai rokok lintingan, efek asap yang ditimbulkan bisa bikin mabuk dan batuk-batuk orang di sekitarnya.
Pertunjukan politik semprul baru dipentaskan dalam rangkaian perhelatan Pilkada DKI Jakarta. Terkait dengan hal ini Kompas.com mencatat:
“Pilkada DKI Jakarta beberapa waktu lalu juga tak lepas dari permainan isu tersebut. Salah satu pasangan dianggap memanfaatkan kasus dugaan penistaan agama yang menjerat lawannya.”
Benar-benar semprul kan, hanya modal serba plus-plus malah melenggang kalahkan petahana yang sudah terbukti kerja nyatanya. Benar-benar semprul dah, demi kekuasaan tujuh juta orang pun diusung hingga berduyun-duyun memenuhi Ibu Kota. Kebodohan benar-benar dipromosikan dan dicarikan panggung secara masif, terstruktur dan sistematis.
Itulah, ketika Isu intoleransi beragama lewat kasus penistaan atau penodaan agama digoreng menjadi manuver politik untuk menjatuhkan lawan. Korbannya jelas, calon pemimpin penuh pengabdian dan tentu nantinya adalah masyarakat sendiri. Kalau seperti ini kan benar-benar semprul, kan Doel?
Secara lugas, bagi Nurkhoirun, korban dari isu intoleransi tak hanya calon pemimpin yang bertarung, tapi juga kelompok minoritas di daerah tersebut. Sebagai contoh, Nurkhoirun menyebut keberadaan kelompok Ahmadiyah di suatu wilayah.
“Kelompok minoritas itu sering dijadikan komoditas politik. Kalau menolak Ahmadiyah, misalnya, calon itu semakin populer,” ujar Nurkhoiron seperti diberitakan Kompas.com, Selasa (29/8/2017).
Terhadap fakta demikian, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia itu mengajak berhati-hati menggunakan isu sentimen agama. Apalagi, menurut Nurkhoirun, dalam konteks Indonesia, sentimen agama di berbagai daerah berbeda-beda. Tergantung agama mayoritas setempat.
“Sentimen itu kalau sudah berhasil di satu tempat, akan menjalar di tempat lain. Karena tidak perlu keluar biaya besar,” kata dia.
Ini kan benar-benar kurang ajar! Dengan alasan tidak perlu biaya besar, politikus semprul dengan otak di dengkul akan terus menggoreng dan bermanuver dengan isu sentimen agama. Politik semprul semacam ini makin menjadi-jadi ketika kelompok intoleransi sengaja dipelihara. Dari mereka inilah huru-hara dikendalikan sesuai nafsu dan dimensi syahwatnya.
Kebusukan seperti ini yang perlu terus diendus. Masyarakat sipil harus makin cerdas membedakan mana politikus semprul dan mana politisi yang cinta NKRI. Politikus semprul tidak jauh-jauh dari isu agama, sedangan politisi cinta NKRI dengan gagah berani selalu merawat dan merajut tenun kebangsaan.
Politikus semprul sukanya bermesraan dengan kelompok-kelompok intoleran dan radikal, karena sering kehilangan akal. Namanya juga politikus semprul. Sukanya memang bergaul dengan orang-orang yang bernalar amburadul. Referensinya tidak jauh-jauh dari zaman bahlul.
Daripada menghidupi hukum perpolitikan zaman bahlul kan lebih jos gandhos kotos-kotos mengembangkan demokrasi yang berakal sehat. Sebuah demokrasi yang mengedepankan adu ide dan program yang transparan bagi kemaslahatan umat tanpa terpilah dan terpisah oleh identitas suku, agama dan ras. Insya Allah, dengan berpolitik seperti itu, nama akan terpahat di dinding peradaban.
Selain mewaspadai politikus semprul, kaum beragama juga tidak boleh fakir pikir. Jangan sampai eksistensi agama digagalkan melalui propaganda kebencian. Agama lahir bukan untuk menghamba pada rasa benci. Sebaliknya malah untuk menebar kasih sayang.
Artinya ketika suatu agama amalannya hanya propaganda kebencian diselingi take a beer dan teriak kofar-kafir jelas-jelas sedang memperlihatkan fakir pikir. Agama jenis ini pantas dicurigai sebagai agama yang kehilangan akal sehat dengan produksi mudharat. Karena itu, sebelum terlanjur sekarat, sebaiknya cepat-cepat memeluk agama yang jelas-jelas cinta damai, penuh welas asih dan menjadi rahmat bagi semesta. Itulah yang disebut agama yang rahmatan lil ‘alamin.
Ketika orang-orang nyaman dalam pelukan agama yang rahmatin lil ‘alamin, insya Allah punya kekebalan untuk tidak bisa dibohongi para politisi semprul. Politisi yang miskin akal karena otaknya hanya dijejali ayat yang sudah kehilangan konteks.
Dengan berkembangnya akal sehat dalam kehidupan beragama, niscaya para politisi semprul yang memainkan isu intoleransi beragama tidak lagi mendapat pentas. Selanjutnya biar saja para politikus semprul tetap bergaul dengan para begundal ayat hingga hatinya tersayat-sayat dan sekarat. Paling-paling lalu minggat hingga ke Arab.
Referensi:
http://nasional.kompas.com/read/2017/08/29/11323741/komnas-ham-sebut-isu-intoleransi-beragama-kerap-jadi-senjata-politik