simple hit counter

Kasus Bendera Dibalik: Cermin Inferiority Complex Malaysia

Malaysia kembali lagi bikin ulah dengan salah memasang bendera Indonesia pada produk publikasi resmi pekan olahraga SEA Games yang tengah berlangsung disana. Pendapat saya pribadi insiden bendera Indonesia yang dipasang terbalik tersebut bukanlah tak sengaja terpasang terbalik tapi memang dibalik. Karena itu, ulasan berikut inipun cepat atau lambat akan membuat aliran darah penduduk negara jiran tersebut berdesir kencang dan wajah tersipu karena adanya beberapa fakta yang tersimpan rapi di bawah karpet soal rasa rendah diri mereka selama ini. Bacaan ini juga akan menjadi tendensius jika tak didukung fakta-fakta tersebut.

Kejadian bendera dibalik ini bukan hal kebetulan dan pertama kali terjadi dari rentetan kontestasi antar dua negara serumpun ini. Menurut Marshall Clark dan Juliet Pietsch dalam bukunya Indonesia-Malaysia Relations, Cultural heritage, politics and labour migration, Routledge, Maret 2014; klaim serumpun ini lebih sering dilontarkan oleh pemerintah dan media negara Malaysia. Peristilahan serumpun mengacu pada jalinan keakraban, ikatan sedarah dan kekerabatan yang memiliki nilai-nilai, relasi dan tradisi budaya yang serupa dimana kemudian dikebat dalam kesamaan ikatan ras dan etnisitas. Begitulah klaim mereka tentang serumpun, yang rajin mereka kipas-kipas di depan publik atau hiruk-pikuk diplomasi untuk meredakan tensi politik, budaya atau olahraga. Nyatanya, yang terbaru posisi merah putih terbalik pada satu halaman publikasi tersebut dan tertukar dengan bendera Thailand pada halaman lain. Parahnya lagi, koran-koran disana pun memasukkan gambar bendera merah putih terbalik pada tampilan foto beritanya. Seperti biasa ada permintaan maaf, kemudian tunggulah sebentar lagi mantera ajaib serumpun akan mereka ucapkan lagi.

Kompleks Rendah Diri

Perasaan minder atau rendah diri adalah hal yang wajar, selama perasaaan itu tidak berubah menjadi persepsi dan mengendap di alam bawah sadar seseorang atau suatu bangsa. Alfred Adler sudah menyebut dalam teori Psikologi Individual bahwa akibat inferiority complex mengejawantah pada perilaku dan tindak-tanduk sebagai kompensasi terhadap kurangnya rasa harga diri. Perasaan rendah diri senantiasa mendorong individu atau malahan bangsa untuk kompensasi mencapai keunggulan perilaku dalam upaya meraih keseimbangan agar mereka kelihatan mampu beradaptasi dan mengekspresikan pendiriannya untuk mengatasi masalah rendah diri tadi.

Per teori rumit ya. Langsung kita lihat saja per kasus. Tak usah lah kita sebut soal “akuisisi” batik, wayang, gamelan, angklung, tari pendet dan reog Ponorogo sebagai budaya mereka. Belum lagi sederet lagu-lagu lokal macam Rasa Sayang, Kakatua, Injit-injit Semut, Soleram, Jali-jali dan Anak Kambing Saya.                 Sampai-sampai makanan terenak di dunia pun, rendang, mau diklaim. Lha, apa perlu juga disebut disini soal dugaan bahwa lagu kebangsaan mereka juga plagiat dari lagu Terang Bulan (Rudy van Dalm, 1940). Bener-bener minta ampun deh.. Kira-kira apa ya penyebab jiran kita yang elok pekerti ini seperti itu?

Sejarah Negara Malaysia

Saya tidak (atau belum) pernah membaca literatur perjuangan berdarah-darah dalam sejarah kemerdekaan Malaysia. Karena faktanya bangsa Malaysia ‘mendapatkan’ kemerdekaan dari Inggris pada 20 Oktober 1947. Tanda kutip pada kata mendapatkan, bahwa setelah memberi kemerdekaan, Inggris tidak berhenti sampai disana saja, mereka membentuk partai pemerintah yang diberi nama UMNO, yang merupakan pemerintahan boneka Inggris dan hingga saat ini masih mendominasi parlemen di Malaysia. Perlu diketahui bahwa 10 tahun sebelum tanggal kemerdekaan Malaysia tersebut, para pejuang Indonesia yang gagah berani menginvasi Malaysia, membawa semangat perjuangan untuk merdeka, agar segelintir bangsa Melayu tersadar dan mulai melakukan perlawanan terhadap kolonialisme. Hebatnya lagi, bendera yang digunakan bangsa Malaysia saat memberontak saat itu adalah Sangsaka Merah Putih!    (http://sejarah-indonesia-lengkap.blogspot.co.id/2015/12/sejarah-berdirinya-negara-malaysia.html).

Makin jadilah rasa rendah diri mereka.

 

Jadi, Malaysia tidak punya pahlawan nasional? Ada sih, seperti Tunku Abdul Rahman Putra Alhaj, Tun Abdul Razak Bin Dato’ Hussein dan Dato Tun Hussein Onn. Tapi lucunya, pada seminar “Serantau Memperingati 100 tahun Pahlawan Nasional Bapak Mohammad Natsir” yang diadakan oleh LSM Wadah (wadah pencerdasan umat Malaysia) dan Kolej Universiti Islam Antarbangsa Selangor (Kuis), Sabtu 10 januari 2009, pahlawan nasional Indonesia Mohamad Natsir juga diakui oleh mereka sebagai tokoh pejuang Malaysia.

Wah, pantaslah nyata rasa rendah diri itu.

Satu surat pembaca di koran Malaysia Kini (malaysiakini.com/letters/153762) bahkan berkeluh kesah perihal kebanggaan mereka sebagai warga negara Malaysia saat membandingkan dengan tetangga-tetangganya yang besar dan beragam. Indonesia 230 juta 300 suku bangsa, Thailand 66 juta 40 suku bangsa, Vietnam 87 juta 54 suku bangsa, Filipina 89 juta 170 suku bangsa. Malaysia dengan 27 juta dan 5 kelompok etnis yang terpolarisasi berdasar etnisitas tersebut, terlihat dari afiliasi partainya: UMNO, MCA, MIC. Ada pola pikir dan patron politik berbasis ras di Malaysia. Sehingga pantaslah keluh kesah dimana mereka bisa berdiri bersama dengan bangga sebagai satu bangsa, kalau tidak merasa rendah diri.

Jati Diri

Malaysia boleh dibilang lebih makmur dibanding Indonesia. Akan tetapi, di balik kemakmuran itu terasa ada yang kurang sebagai sebuah bangsa. Mereka tengah berjuang mencari dan merumuskan jati diri bangsa. Dari tinjauan sejarah yang dulu merupakan kerajaan kecil berada dibawah kerajaan Sriwijaya kemudian tunduk pada kerajaan Majapahit yang selanjutnya berganti-ganti di bawah kekuasaan Portugis, Belanda dan Inggris. Mereka merasa perlu mencari nilai patriotisme dan harga diri sebagai bangsa, perlu ada pahlawan dan ciptakan pahlawan itu. Darimana pahlawan itu?

Sosok pahlawan itu paling mungkin muncul saat ini adalah lewat olah raga, karena kalau dari dunia politik mereka hanya bungkusnya saja yang bagus, isinya banyak perselingkuhan dan penyelewengan. Pokoknya sekarang, tidak peduli cara mendapatkan, karena yang terpenting mereka punya pahlawan.

Apapun dilakukan agar menang, agar punya pahlawan yang dibanggakan. Masalah sportivitas taruh saja di laci sementara, toh bisa dimaklumi karena mereka tidak pernah mengenal kata berjuang. Padahal,              kemenangan tanpa sportivitas hanya melahirkan kebanggaan semu. Inilah yang bisa menjawab pada posisi ini kenapalah banyak sekali kericuhan di gelanggang SEA Games saat ini sampai-sampai Sang Saka Merah Putih sampai perlu dipasang dibalik begitu.

Sejarah keriuhan dan sengitnya hubungan 2 negara bertetangga ini pernah mencapai titik didihnya tahun 2009 dengan kasus selingkuh Manohara dan pertikaian pulau Ambalat. Tak heran, 4 tahun sebelumnya di tahun 2005 lebih gaduh lagi dengan demo Ganyang Malaysia. Sempat reda kemudian, dibumbui kemesraan dan rasa iri sebagai serumpun tadi, meletus lagi pada ajang SEA Games 2011 saat laga final sepakbola yang gegap gempita dan panas. Medali emas sepakbola toh direbut oleh Malaysia. Dan sekarang tensi tersebut naik lagi di SEA Games XXIX dengan ulah tak seronok mengusik lambang negara orang.

 

Aduh pak cik, mak cik mau sampai kapan dikau begitu?

Jangan sampai kunang-kunang yang menjawab ya…

 

Kasus Bendera Dibalik: Cermin Inferiority Complex Malaysia | admin | 4.5