Taktik Maju dan Mundur, Fenomena Percaturan Politik Teranyar.
Suhu politik pasca ketuk palu pengesahan UU Pemilu, tak ayal menjadi pemicu polemik tentang isu-isu sensitif yang semakin memuncak. Diawali dengan keberatan beberapa pihak, yang mempermasalahkan materi ambang batas presiden, dengan menuding pemerintah bertindak otoriter, konyol dan menipu rakyat. Sementara Jokowi hanya menanggapinya dengan mengatakan, penampilan dirinya yang tidak layak untuk disebut otoriter.
Jika kita berkaca pada jejak langkah Jokowi sejak menjadi Wali Kota Solo, yang selalu telihat dekat dengan rakyat, mengedepankan dialog, melibatkan masyarakat luas dalam program-program pemerintahannya. Sangat sulit dipahami, jika ada pihak yang menganggapnya sebagai otoriter. Pernyataan itu bahkan seolah menunjukkan, bahwa ketidak relaannya pemerintah menerima dukungan mayoritas DPR, sehingga keluar komentar kontra produktif, dan boleh jadi, malahan menjadi berbalik kepada dirinya, dan menambah anti pati dari para calon pemilih.
Manuver-manuver berupa usaha pengujian materi (Judicial Review) sebagian materi UU Pemilu, serangan secara verbal terhadap partai-partai pendukung pemerintah, bahkan hingga menyentuh wilayah personal, memunculkan kesan, bahwa para penentang pemerintah sungguh bernafsu mementahkan kesepakatan dewan, tidak peduli melalui cara-cara provokasi, yang sesungguhnya beresiko kepada dirinya sendiri.
Sementara kita menyaksikan respon Presiden Jokowi, meskipun tampak mulai risau, karena melihat gelagat kurang baik, terutama yang dianggapnya dapat mengganggu ketenangan rakyat, pemerintah dan aparat negara tetap fokus pada tugas dan kewenangan melanjutkan pembangunan.
Cara Jokowi menetralisir situasi panas, tampak cukup elegan yaitu dengan menambah porsi peran Wapres. Akhir-akhir ini JK tampak lebih sering berhadapan dengan media, memberikan pernyataan yang bernuansa mendinginkan suasana. Demikian halnya dengan peran tokoh yang pro pemerintah, mereka tampak menjadi representasi dari masyarakat, seolah ingin mengutarakan bahwa kita tetap di belakang pemerintah, meskipun berbagai tudingan dilemparkan oleh para penentang.
Hal yang menarik adalah situasi terkini, jagat raya politik Indonesia seperti sedang menuju arah baru. Dimulai dengan tersiar berita, bahwa Prabowo Subianto belum menyatakan kesediaannya sebagai calon Presiden dari Partai Gerindra pada pilpres 2019.
Berita berikutnya, wakil ketua DPR Fahri Hamzah, dengan sedikit bernada sedih berujar, jika tidak ada calon lain yang kuat maka lebih baik pilih Jokowi. Tetapi di tengah-tengah situasi itu, terkuak pula blunder Arief Payuono yang menyudutkan PDI-P dengan mengidentikkannya dengan PKI. Lucunya, tokoh Gerindra lainnya justru menyalahkan Arief secara terbuka. Wakil Ketua DPR Fadli Zon menyesalkan pernyataan rekannya di Partai Gerindra yang menuding PDIP sama seperti PKI. Menurutnya, pernyataan Arief Poyuono adalah pernyataan pribadi dan bukan sikap partai Gerindra. “Ya soal pernyataannya itu kan dari pribadi dia, dan kita menyesalkan pernyataan itu karena sudah crossing the line,” ujar Fadli di gedung Parlemen Jakarta, Kamis (3/8).
Politisi Gerindra ini menuturkan Partainya tidak pernah berkeinginan menjatuhkan partai lain, meskipun sebagai rival politik. “Kami gak mau menjatuhkan (PDIP), waulaupun itu kompetitor tapi di sisi lain itu adalah mitra dalam demokrasi,” imbuhnya.
Tampaknya tokoh-tokoh koalisi merah putih, sudah mulai membaca kecenderungan masyarakat, yang saat ini sedang terkuras perhatiannya kepada kiprah pemerintah Jokowi. Mereka mungkin merasa tidak tepat waktunya, jika secara vulgar terus menerus mendirkreditkan pemerintah, sementara itu boleh jadi efek dari serangan yang selama ini dilakukannya, malah menjadi bumerang, dengan terjadinya eksodus dukungan kepada pemerintah.
Jika benar informasi bahwa Prabowo tidak maju mencalonkan diri, maka pembicaraan bersama partai Demokrat, yang beberapa waktu lalu mulai mengisyaratkan terbentuknya poros baru, tampaknya harus dipikirkan ulang. Indikasi bahwa partai Demokrat, belum menunjukkan akan mengajukan alternatif calon potensial di luar petahana, harus menjadi pertimbangan Gerindra dengan cermat.
Tetapi di luar prakiraan-prakiraan di atas, berbagai kemungkinan yang biasa ditunjukkan di dunia politik, masih sangat terbuka lebar. Siapa yang bisa menebak arah haluan para elit partai dalam beberapa waktu ke depan ? Boleh jadi ada trik-trik tertentu yang sedang dimainkan dibalik kejadian yang tampak dari luar. Percaturan politik tanah air, selama ini memang seringkali membawa teka-teki sosial, yang kerap memainkan spekulasi dengan dibalut isu-isu jangka pendek. Yang menjadi harapan kita, semoga setiap pertunjukan dalam tataran permukaan ini, tidak menjadikan persatuan dan kesatuan yang sudah mulai kondusif, tidak lagi tercerai berai.
Sumber berita : (merahputih.com).
Artikel lainnya : https://seword.com/author/ruskandi