Cara Jokowi ‘Menggebuk’ Gerakan Radikal di Indonesia

Sumber Gambar : Hasil Penelusuran Google Image
Pada beberapa kesempatan dalam pidatonya, Presiden Jokowi sering menggunakan istilah ‘menggebuk golongan intoleran dan radikal’. Lalu apa sebenarnya yang dimaksud dengan kalimat Presiden tersebut? Beberapa kalangan beranggapan bahwa pemerintah akan mulai menggunakan cara-cara yang represif, seperti halnya yang sering dilakukan oleh pemerintahan era Orde Baru dulu. Jika hal ini yang dilakukan maka tentu saja akan membahayakan dari sisi demokrasi dan HAM. Tetapi, apakah betul itu yang dimaksud oleh Presiden Jokowi?
Banyak dari elemen masyarakat kita yang tidak menyadari akan bangkitnya gerakan radikal yang dimulai sejak masa tumbangnya rezim Orde Baru. Banyak organisasi massa, dari yang ‘malu-malu’ sampai yang ‘terang-terangan’, ingin mengganti sistem ketatanegaraan kita dari Pancasila menjadi sistem ketatanegaraan khilafah. Seperti yang telah dideklarasikan pada Konferensi Khilafah Internasional di Jakarta pada tahun 2007 yang lalu. Sistem ketatanegaraan seperti ini juga yang telah dipakai oleh organisasi radikal seperti NIIS di Suriah dan Irak, yang terkenal sangat kejam dan sangat ditakuti oleh golongan minoritas disana.
Hal-hal diatas kemudian diikuti dengan banyaknya peristiwa-peristiwa yang mengindikasikan menguatnya paham radikal dan intoleransi. Contohnya adalah mengkafir-kafirkan pemeluk agama lainnya, dan penyerangan pada orang atau kelompok yang mempunyai perbedaan keyakinan. Peristiwa menguatnya paham radikal bukan hanya terjadi pada media sosial saja. Gerakan radikal juga banyak mempengaruhi para mahasiswa dan dosen di perguruan-perguruan tinggi. Bisa dibilang, hampir pada semua lapisan masyarakat, gerakan tersebut hadir. Hal yang paling mengkhawatirkan adalah akhir-akhir ini yang terjadi bukan lagi sekedar adu argumentasi dan opini di media sosial saja, namun juga masalah persekusi terhadap pengguna media sosial yang tidak segaris dengan paham mereka. Terdapat banyak pengguna medsos yang postingan pendapatnya dilihat telah melecehkan nama baik ulama atau agama tertentu. Mereka ini kemudian dicari atau diburu, kemudian diumumkan identitas aslinya dan setelah itu didatangi. Jadi kalau melihat situasi diatas, maka sangat diperlukan suatu ketegasan dari pemerintah untuk bisa membendung gelombang paham radikal ini.
Untuk dapat meredam golongan dengan paham radikal ini, maka terdapat 2 hal yang pemerintahan Presiden Jokowi telah lakukan. Yang pertama adalah dengan menerbitkan Perppu Ormas No. 2 Tahun 2017. Dan yang kedua adalah dengan cara revolusi mental yang telah didengungkan oleh Jokowi dalam masa kampanye Pilpres 2019 yang lalu.
Perppu Ormas No. 2 Tahun 2017
Akhir-akhir ini terjadi perbincangan atau diskusi yang cukup banyak dan serius di kalangan masyarakat kita, dan lebih fokus lagi yang terjadi pada sosial media mengenai diterbitkannya Perppu Ormas No. 2 tahun 2017. Dengan diterbitkannya Perppu ini, telah mengakibatkan timbulnya golongan yang pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat. Bahkan beberapa waktu yang lalu, hal ini sampai menjadi trending topik di berbagai soial media.
Alasan yang dikemukakan oleh pemerintah untuk menerbitkan Perppu Ormas ini adalah untuk menertibkan ormas-ormas yang berideologi anti-Pancasila. Perppu Ormas yang telah diterbitkan oleh pemerintah ini juga mengatur beberapa sanksi pidana terhadap anggota atau pengurus organisasi kemasyarakatan yang anti Pancasila, radikal dan pro-kekerasan. Hal ini sebagai tambahan payung hukum, karena penerapan sanksi pidana tidak diatur didalam UU Ormas yang telah berlaku sebelumnya.
Banyak golongan di masyarakat yang kontra dengan terbitnya Perppu ini mempertanyakan pentingnya atau urgensi dari terbitnya aturan baru ini. Rata-rata mereka beranggapan bahwa aturan baru ini bisa digunakan oleh pemerintah untuk ‘membungkam’ organisasi-organisasi yang berseberangan dengan pemerintah. Seperti halnya yang banyak terjadi semasa pemerintahan Orde Baru. Selain itu, terdapat juga kelompok-kelompok radikal yang berpendapat bahwa terbitnya Perppu ini akan membuat mereka semakin sulit ‘bergerak’ untuk merongrong kewibawaan pemerintah dengan memanfaatkan celah-celah di dalam UU Ormas di Indonesia.
Sebagai hasil dari diberlakukannya peraturan ini, maka beberapa waktu yang lalu pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM telah mencabut status badan hukum ormas Hizbut Tahrir Indonesia ( HTI) karena mereka dianggap telah menyimpang dari ideologi Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hizbut Tahrir Indonesia pada dasarnya adalah suatu gerakan dakwah. Hanya saja, hampir dalam setiap dakwahnya terdapat substansi yang mengandung satu gerakan politik yang terdapat istilah khilafah. Pemerintahan Jokowi memandang bahwa Hizbut Tahrir merupakan suatu ormas yang memiliki gerakan politik, dan bukan murni berdakwah. Konsep khilafah yang mereka anut adalah suatu konsep yang berusaha untuk bisa menghilangkan konsep negara bangsa. Hizbut Tahrir Indonesia menjelma menjadi suatu gerakan politik yang berusaha untuk mempengaruhi opini masyarakat untuk mengganti Negara Kesatuan RI yang berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila dengan konsep khilafah. Dan oleh sebab itu sangatlah beralasan jika Pemerintahan Presiden Jokowi mencabut status badan hukum ormas ini.
Revolusi Mental ala Jokowi
Setelah diterbitkannya Perppu Ormas No. 2 Tahun 2017 kemudian timbul satu pertanyaan, apakah Perppu ini sudah cukup untuk mengeliminasi gerakan radikal? Peraturan baru ini memang sangat manjur untuk membubarkan gerakan-gerakan atau kelompok-kelompok radikal, tetapi tidak dengan ideologinya. Yang dimaksud dengan ideologi radikal disini ialah suatu ide atau pemikiran untuk mengubah keadaan dengan jalan kekerasan atau pemaksaan kehendak.
Pada titik inilah, Gerakan Revolusi Mental yang diperkenalkan oleh Presiden Jokowi menjadi lebih bermakna. Lebih khusus lagi adalah revolusi mental yang menyentuh generasi muda kita. Sebab seperti sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa jaringan gerakan radikal di tanah air sering berusaha merekrut kalangan muda untuk menjadi bagian dari mereka. Hal ini biasanya mereka lakukan melalui jaringan sosial media yang sangat digandrungi oleh generasi muda kita.
Salah satu contoh dari Gerakan Revolusi Mental ini adalah Program Duta Damai yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Program ini pada dasarnya berusaha melibatkan anak-anak muda kita untuk berperan aktif dalam menyebarkan informasi anti radikalisme dan kekerasan di dunia maya. Caranya ialah dengan memproduksi konten-konten dalam bentuk tulisan, video atau foto yang bersifat damai. Tujuan dari program ini adalah agar generasi muda kita dapat lebih bijak dalam menggunakan internet. Selain itu diharapkan para netizen muda kita tidak mudah terpengaruh dengan gencarnya berita-berita hoax yang sangat mudah ditemui, dan sering digunakan oleh kelompok radikal untuk meradikalisasi generasi muda kita.
Pada akhirnya, semua yang telah dilakukan oleh pemerintah, sedikit banyak telah mulai menunjukkan hasilnya. Hanya saja terdapat pertanyaan besar mengenai konsistensi dari program-program yang telah dijalankan. Salah satu masalah yang mungkin timbul adalah adanya resistensi dari beberapa elemen masyarakat kita terhadap program-program tersebut. Dan ini menjadi tantangan besar bagi seluruh bangsa dan elemen masyarakat untuk mensukseskannya. Sebab jika program-progarm tersebut sampai gagal, dan gerakan serta ideologi radikal semakin merajalela, maka resikonya adalah hancurnya keutuhan dan eksistensi bangsa dan negara Indonesia yang kita cintai ini.