Presidential Threshold 20 Persen Gelisahkan Prabowo dan SBY
Pasca disahkannya Presidential Threshold 20 persen, dua ketua umum (ketum) partai politik, Prabowo yang selalu merasa tersakiti dan SBY yang selalu prihatin mendadak melakukan pertemuan tertutup di Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat pada hari Kamis 27 Juli 2017.
Pertemuan tersebut muncul akibat kegelisahan politik kedua ketum. Prabowo tambah tersakiti dan SBY tambah prihatin akibat kegagalan mereka memperjuangkan Presidential Threshold 0 persen. Pertemuan mempopulerkan “nasi goreng” itu dilakukan dalam rangka menyikapi disahkannya Undang-Undang pemilu secara aklamasi pada sidang paripurna DPR tanggal 21 Juli 2017.
Banyak pihak yang menilai bahwa pertemuan yang berkedok gersakan moral itu adalah upaya meraih simpati dan dukungan di luar DPR, yaitu dari rakyat. Mengapa? Karena Prabowo dan SBY kalah memperjuangkan Presidential Threshold 0 persen di DPR.
Wakil-wakil mereka di DPR seperti Fadli Zon yang kerjaaannya kebanyakan nyinyir itu tak mampu memperjuangkan Presidential Threshold 0 persen. Entah apa alasan Prabowo dan SBY mati-matian memperjuangkan Presidential Threshold 0 persen. Seharusnya Prabowo dan SBY yang mengklaim lebih baik dari Jokowi malu memperjuangkan Presidential Threshold 0 Persen.
Bisa saja Presidential Threshold 0 persen bila tidak ada calon berkualitas seperti Prabowo dan SBY. Apa tidak malu pada Jokowi (yang menurut Prabowo dan SBY) kualitasnya rendah, tapi menginginkan Presidential Threshold 20 persen?
Presidential Threshold 0 persen boleh-boleh saja. Namun mayoritas anggota DPR tidak setuju. Lagi pula apa kata dunia, seandainya Presiden yang terpilih adalah hasil dari Presidential Threshold 0 persen.
Wacana Presidential Threshold 0 persen yang mati-matian diperjuangkan Fadli Zon cs gagal disahkan menjadi Undang-Undang, karena mayoritas anggota dewan menganggapnya sebagai kemunduruan demokrasi dan membuat pemilu tak berkualitas.
Sebelum Presidential Threshold 20 persen ditetapkan dan disahkan, masing-masing memiliki kepentingan dan keinginan berbeda. Keinginan Prabowo dan SBY, Presidential Threshold harus 0 persen, karena keduanya tidak memikirkan kualitas demokrasi. Bagi mereka yang terpenting adalah jagoan mereka (atau mereka sendiri) bisa mulus menjadi calon Presiden pada tahun 2019. Sedangkan dari pihak pemerintah menginginkan kualitas demokrasi dan pemilu dari tahun ke tahun makin baik. Salah satu cara untuk mencapainya adalah dengan tetap mempertahankan Presidential Threshold 20 persen atau bisa menaikkannya.
Masing-masing memiliki argumen pembenaran dengan segala keunggulan dan kelemahannya. Kalau Presidential Threshold 0 persen, semua partai bisa mencalonkan Presiden secara bersama-sama atau sendiri-sendiri. Artinya, calon presidennya banyak, dan walaupun terbuka peluang, namun setiap partai sangat kecil kemungkinannya memiliki calon Presiden. Di situlah terjadi transaksi politik yang mengakibatkan kepentingan rakyat terabaikan.
Kalau Presidential Threshold besar, partai kecil yang ketuanya berambisi mencalonkan diri sebagai Presiden terhambat. Karena itu timbul kegelisahan dan ketakutan jika mereka tak mampu melampaui Presidential Threshold 20 persen. Jika hal ini terjadi, berarti partai tersebut gagal mengusulkan tokohnya sebagai capres 2019. Tapi bisa mencalonkan tokohnya jika berkoalisi dengan partai lain untuk mencapai Presidential Threshold 20 persen.
Presidential Threshold 20 persen lebih bergengsi dan terhormat. Juga membuka koalisi lebih besar, sehingga pemerintahan yang terbentuk dari hasil pemilu makin kuat. Dalam dua kali pemelihan Presiden sebelumnya, Presidential Threshold 20 persen terbukti sukses diterapkan.
Pada pemilu tahun 2009, SBY terpilih dengan menggunakan Presidential Threshold 20 persen. Lalu mengapa ia pada tahun 2017 ini menilai seolah-olah Presidential Threshold 20 persen merupakan hal yang salah?
Sama halnya dengan Prabowo, pada tahun 2009, ia ikut cawapres dan pada tahun 2014 ikut capres dengan Presidential Threshold 20 persen, namun dalam dua kali pemilu itu, rakyat tidak memberi keuntungan padanya. Apakah karena alasan kekalahan memalukan itu, lalu Prabowo menginginkan Presidential Threshold 0 persen?
Semua tahu bahwa pertemuan Prabowo dan SBY di Cikeas bukan untuk rakyat, tapi untuk kpentingan ambisius mereka jelang Pilpres 2019. Bila mereka mencalonkan diri kembali, itu adalah hak mereka, tapi jangan memainkan emosi publik dan memanipulasinya.seolah-olah pertemuan itu adalah untuk publik.
Tampaknya kekalahan prabowo dua kali berturut-turut membuat dirinya trauma dengan Presidential Threshold 20 persen, sehingga ia berusaha mempengaruhi pikiran rakyat untuk berpihak pada dirinya dan SBY, dengan mengatakan bahwa Presidential Threshold 20 persen adalah konsep yang salah dan tidak demokratis.
Presidential Threshold 0 persen, adalah lelucon politik yang memundurkan demokrasi, membodohi rakyat, dan melampaui batas keinginan manusia normal. Katanya macan Asia, masak maunya 0 persen, kalau begitu bukan macan Asia dong!
Manuver politik yang tak kenal lelah berburu kekuasaan tersebut dimanipulasi sedemikian rupa seolah-olah Presidential Threshold 20 persen adalah kesalahan total presiden Jokowi. Suatu tuduhan yang berlebihan dan membesar-besarkan hal yang sebetulnya tidak pernah ada.
Usai pertemuan “nasi goreng” Cikeas, Prabowo dan SBY lakukan konferensi pers. Masing-masing mengeluarkan pernyataan yang berbeda, tapi sasaran tembaknya sama, yaitu Presiden Joko Widodo. Inti pernyataan mereka adalah, Prabowo merasa tersakiti oleh Presidential Threshold 20 persen, sedangkan SBY merasa prihatin.
Trio Politikus, yang suhunya sering panas dingin
Keduanya menyebut pertemuan itu sebagai gerakan politik dan moral. Tepatnya gerakan politik dan moral mereka sebagai tokoh yang lebih hebat dari Jokowi tercedarai oleh Presidential Threshold 20 persen. Artinya, pertemuan mereka tercipta bukan karena perasaan dan kepentingan rakyat tercederai, tapi karena aspirasi mereka memperjuangkan Presidential Threshold 0 persen untuk memundurkan demokrasi gagal total.
Sesungguhnya Presidential Threshold 0 atau 20 persen hanyalah hanya permainan elit partai, dan itu adalah hasil kesepakatan. Tak ada efek langsung untuk kepentingan rakyat. Bagi rakyat yang tidak mengerti dan buta politik, Presidential Threshold 0 atau 20 persen sama saja. Tapi bagi rakyat yang mengerti dan tidak buta politik, Presidential Threshold 0 persen adalah kemunduran demokrasi dan merupakan pembodohan terhadap rakyat.
Presidential Threshold 0 persen bukan cerminan keinginan rakyat, tapi keinginan Gerindra, Demokrat, PKS dan PAN, yang menghambat figur pemimpin yang memiliki komitmen nasional dan memiliki legitimasi poitik yang kuat.
Keinginan kuat 4 parpol yang memperjuangkan Presidential Threshold 0 persen, adalah bukti bahwa mereka di DPR tidak memperjuangkan apa yang diaspirasikan oleh rakyat, tapi memperjuangkan ambisi pribadi mereka yang berbalut kepentingan rakyat.
Benarkah Presiden Jokowi dan pembantu-pembantunya melanggar etik moral dalam menjalankan kekuasaan? Tentu tidak! Karena apa yang dijalankan dan dilaksanakan tetap dalam koridor aturan.
Ambang batas pencapresan (Presidential Threshold), adalah hasil proses demokrasi, yang diusulkan oleh pemerintah, dibahas di DPR dan disahkan dalam sidang paripurna DPR. Ini, artinya pemerintah tidak memiliki kekuasaan mutlak atau absolut.
Menurut Presiden Jokowi bila ada pihak yang keberatan dengan Presidential Threshold 20 persen bisa menempuh uji materi di Mahkamah Konstitusi. “…Ini negara demokrasi dan negara hukum, “ujar Jokowi.
***