UU MD3 Produk Abuse Of Power SBY, Ini Faktanya

Foto: Muhammad Ridho Suhandi
Kritik Ketum Partai Demokrat (PD) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menyebutkan bahwa Presiden Jokowi harus berhati-hati untuk tidak melewati batas kekuasaan yang bisa mengakibatkan abuse of power. Kritik SBY ini jelas sekali kaitannya dengan kekalahan mereka di paripurna UU Pemilu yang tetap mengusung Presidential Threshold (PT) 20% produk SBY sendiri.
Memang PT yang diharapkan oleh SBY adalah PT 0%. Alasannya tentu supaya setiap partai bisa mengajukan siapa saja capres yang mereka inginkan. Partai Demokrat sendiri berkeinginan mengusung AHY sebagai capres kalau seandainya PT 0 % berhasil dimenangkan. Sayangnya, hal itu gagal dan mereka harus memperjuangkannya di Mahkamah Konstitusi (MK).
Gugatan mengenai PT ini kemungkinan besar akan gagal. Karena MK tidak akan menganulir hasil UU Pemilu yang sudah disahkan oleh DPR. Alasannya adalah bahwa PT merupakan kebijakan hukum (legal policy) yang terbuka yang didelegasikan oleh Pasal 6A ayat 5 UUD 1945. Pasal itu berbunyi:
Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang.
Itulah mengapa SBY menyinggung masalah abuse of power dan ditambahi juga kritik Ketum Gerindra Prabowo Subianto bahwa PT 20% adalah sebuah lelucon. Lelucon karena jumlah kursi dan suara hasil Pemilu 2014 adalah tiket sobek yang tidak lagi bisa dipakai untuk menjadi syarat mengusung pasangan di Pilpres 2014.
Benarkah itu adalah tiket sobek?? Tentu saja tidak. Mengapa?? Karena tidak ada aturan yang menyebutkan bahwa suara rakyat pada pemilu 2014 tidak lagi boleh digunakan. Karena tidak ada larangan, maka suara rakyat di pemilu 2014 masih bisa digunakan. Apalagi ini adalah pemilu serentak pertama.
Saya pikir malah bagus kalau PT 20 % ini tetap diusung. Karena akan sangat baik dalam pendidikan politik dan juga pendewasaan politik yang adil. Adil disini dalam artian bahwa partai yang punya kursi saja yang bisa ajukan pasangan capres. Bayangkan saja kalau ada partai baru belum teruji dan bahkan bisa saja tidak lolos parlementary threshold tiba-tiba punya capres sendiri.
Apa dasarnya?? Apakah hanya karena setiap WNI punya kesempatan menjadi capres dan wapres?? Cukup dirikan partai dan lalu lolos jadi serta pemilu kemudian jadi capres?? Terlalu naif dan terlalu rendah sekali jabatan Presiden dan Wakil Presiden tersebut. Menurut saya, PT 20 % akan membuat partai-partai yang punya kursi di DPR saja berhak mengajukan pasangan capres dan wapres.
Jumlah suara dan kursi di pemilu 2014 tidak akan pernah hangus sampai ada perolehan suara dan kursi baru yang disahkan oleh KPU. Karena serentak, maka logikan suara dan kursi di pemilu 2014 masuk akal dan masih SAH dijadikan tiket untuk mengusung pasangan capres dan wapres di Pilpres 2019.
Lalu apa yang menjadi kekhawatiran pihak yang kalah?? Ya tentu saja karena tidak akan bisa memasang jagoannya di Pilpres 2019. Bayangkan saja kalau ada ketentuan PT 20%, maka Prabowo akan kembali harus keluar uang banyak supaya dapat dukungan partai lain maju jadi capres. Mana ada partai mau gratisan dukung Prabowo.
Sampai sekarang saja, yang sudah punya tiket maju ke Pilpres 2019 adalah Presiden Jokowi yang sudah dijanjikan dukungan oleh Golkar, Nasdem, dan PPP. Bahkan terakhir yang akan bergabung adalah Hanura juga akan memberikan dukungan kepada Jokowi. Prabowo?? Hanya partainya saja yang sudah pasti mengusung dan masih berharap kepada PKS dan PAN serta Demokrat yang kini sedang didekati.
Nah, berbicara kembali mengenai persoalan abuse of power yang disampaikan oleh SBY, ada satu hal yang mungkin dilupakan SBY bahwa pada rejimnya, abuse of power itu dilakukannya. Salah satu faktanya adalah Undang-Undang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3). Salah satu pasal dalam UU tersebut menunjukkan adanya abuse of power yang mereka lakukan dan tiu berhasil disahkan dengan kekuatan koalisi KMP.
Pasal yang dimaksud adalah pasal 82 mengenai tata cara pemilihan pimpinan DPR. Pasal 82 semula mengatur bahwa pemilihan pimpinan DPR diberikan secara proporsional kepada partai pemenang pemilu legislatif. Namun, dalam perubahan yang disahkan, pimpinan akan dipilih secara liberal melalui voting anggota.
Demokrat yang pada saat itu masih punya kekuasaan akhirnya mensahkan pasal 82 tersebut dengan voting melalui para anggota-anggota DPR dari Partai Demokrat, Partai Golkar, PKS, PAN, PPP, dan Partai Gerindra dan menang secara aklamasi memilih opsi ketiga. Partai lain, PKB, Hanura, dan PDIP Walk Out pada saat voting.
Dengan UU MD3 tersebutlah, maka PDIP tidak bisa mendapatkan kursi Ketua DPR dan bahkan pimpinan DPR satu pun meski memenangkan pemilu 2014. Suara rakyat yang memenangkan PDIP bukan hanya dianggap tiket sobek oleh koalisi KMP, tetapi juga tidak berharga karena partai peraih suara terbnayak tidak dijadikan pimpinan DPR.
Keadaan memang berbalik sekarang. Tetapi PDIP tidak mau mengubah UU MD3 tersebut karena saat ini mereka berada dalam posisi yang kuat. Kalau berbicara voting, maka PDIP dan partai koalisinya akan menang. Bisa dikatakan, kalau UU MD3 yang adalah produk abuse of power SBY dan partainya jadi berbalik kepada mereka. Apalagi mereka kini hanya jadi partai urutan keempat suara terbanyak.
Inilah hal yang tidak bisa dipahami oleh SBY dan partainya. Mereka lupa ada pepatah bahwa roda kehidupan itu berputar. Ada saatnya orang di atas dan ada saatnya orang di bawah. Hidup baik dan normal saja supaya tidak kena karma atau serangan balik. Kini, semua harus ditanggung Partai Demokrat karena kelakuan abuse of powernya sendiri.
Kalau memang yakin bahwa UU MD3 kemarin adalah yang terbaik dan dimenangkan dengan voting partai koalisi, maka sekarang jangan jadi melemah hanya gara-gara kalah voting. Tunjukkan kalau memang SBY dan Demokrat masih punya nama di mata rakyat. Buktikan kalau memang SBY membangun dan banyak rakyat yang terpesona dengan keperiodeannya.
Jangan malah merengek dan menyebut Jokowi abuse of power. PARAh.
Salam Abuse of power.