simple hit counter

Album Baru Kanjeng Pepo: Hambalang Kupu-kupu, Kenyang Nasi Goreng, Jangan Lupa UU Pemilu

Tidak ada album yang lebih indah untuk melukiskan diplomasi nasi goreng ala Cikeas kecuali album “Hambalang Kupu-kupu, Kenyang Nasi Goreng, Jangan Lupa UU Pemilu”. Album baru yang sangat pantas dirilis Kanjeng Pepo. Apalagi Kanjeng Pepo sudah lama tidak membuat album lagi sejak tidak menjabat Presiden.

Bagaimana supaya album tersebut mendapat tanggapan positif dari khalayak? Peristiwa diplomasi nasi goreng di Cikeas perlu diulik berdasarkan statemen Sang Penunggang Kuda Hambalang dan si Pemelihara Kebo Cikeas yang melupakan fakta sejarah.

Jelasnya, baik Prabowo Subianto dan Susilo Bambang Yudhoyono adalah penikmat syarat ambang batas presiden 20% seperti disahkan dalam UU Pemilu oleh paripurna DPR 20 Juli 2017 yang lalu. Anehnya, setelah keduanya kenyang nasi goreng, malah kompak ngomongin UU Pemilu secara keliru melulu.

Dari mulut Prabowo misalnya, meluncur deras kata-kata kalau presidential threshold 20% adalah lelucon politik yang menipu rakyat.

“Presidential threshold 20 persen, menurut kami, adalah lelucon politik yang menipu rakyat Indonesia,” ujar Prabowo kepada raga media usai bertemu Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di kediaman SBY, Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Kamis (27/7/2017) malam seperti diberitakan kompas.com.

Seolah berlagak pahlawan demokrasi, Prabowo menambahkan,”Kita tidak mau ikut bertanggung jawab, tidak mau ditertawakan sejarah. Silakan berkuasa hingga 10 tahun, 20 tahun, namun di ujungnya sejarah yang menilai.”

Jadilah, kata-kata Prabowo di atas memang tidak lucu. Mengatakan sebagai lelucon tetapi tidak lucu. Faktor delivery memang menentukan bagi sebuah komedi. Dalam hal ini Prabowo gagal membawakan sebuah lelucon di atas pentas Cikeas. Praktis justru dia sendiri yang sejak kini hingga nanti ditertawakan sejarah yang tengah berjalan.

Sama halnya dengan tuan rumah, Susilo Bambang Yudhoyono. Dengan gaya basa-basinya dia mengatakan kalau pertemuan tersebut menjadi luar biasa karena kedua petinggi partai politik ini merasa dalam “satu kubu” menyikapi pengesahan Undang-Undang Pemilu pada rapat paripurna DPR yang lalu.

“Gerindra, Demokrat, PAN, PKS berada dalam, tanda kutip, satu kubu. Yang tidak menyetujui dikukuhkannya rancangan Undang-Undang Pemilu yang sekarang sudah sah karena sudah disetujui oleh DPR RI,” ucap SBY tidak kalah wagu.

Bagaimana tidak wagu, kalau SBY berkata begitu. Pun pula dimana lucunya ketika Prabowo berteriak seperti itu?

Titik wagu dan ketaklucuan SBY adalah ketika melaju jadi Presiden hingga dua periode adalah berkat presidential threshold 20 persen juga. Partai Demokrat menjadi pemenang Pemilu 2009 juga tak lepas dari tuah angka 20 persen di ambang batas pencalonan Presiden. Nah, dengan gaya super lebay, mengapa SBY ngomong seperti itu?

Setali tiga uang adalah Prabowo Subianto. Dia sukses jadi Calon Wakil Presiden untuk Pemilu 2009 hingga berhasil menjadi Calon Presiden pada Pemilu 2014 juga berkat tuah angka yang sama. 20 persen. Mengapa juga berteriak tidak nggenah? Masya Allah, kan?

Bukankah dengan angka ambang batas tersebut peluang untuk maju Pilpres 2019 tetap terbuka? Karena dalam UU Pemilu, partai atau gabungan partai tetap bisa mengajukan calon presiden-calon wakil presiden setelah memperoleh 20 persen kursi parlemen atau 25 persen suara nasional.

Atau pun kalau tidak bisa nyapres, Prabowo tetap bisa ambil hikmahnya. Siapa tahu kalau berhasil nyapres akan dipecundangi lagi oleh Jokowi. Dengan menyandang hatrick kegagalan, mau ditaruh dimana muka kuda-kuda Hambalang?

Untuk itulah, Prabowo harus makin rajin belajar mencari hikmah. Seandainya tidak jadi Capres 2019 seperti dikhawatirkan Fadli Zon, berarti Prabowo tidak perlu berlelah menanggung malu menghadapi ancaman kalah lagi.

Tidak perlu juga Prabowo berteori seolah ukuran demokrasi yang berkualitas itu kalau Pemilu tanpa menyertakan angka ambang batas Presiden. Taruhlah angka 0 persen. Itu bukan jaminan demokrasi lalu berkualitas. Oleh karena itu, sikap Prabowo dengan Fraksi Partai Gerindranya yang tidak ingin terlibat dalam pengesahan UU Pemilu termasuk kelucuan yang bisa ditertawakan secara sporadis namun masif.

Kualitas demokrasi lebih ditentukan pada pendidikan politik yang membawa pada kedewasaan bernalar sehat. Sederhananya demokrasi yang berkualitas adalah demokrasi yang mengedepankan akal sehat dan bukan memainkan sentimen isu SARA. Ironis memang, Ketua Umum Partai Gerindra yang mengkritik kualitas demokrasi baru saja menciderai demokrasi karena gerombolannya banyak bermain ayat dan mayat. Begitu kok ngomong demokrasi berkualitas.

Daripada ngomong ngawur ngalor-ngidul, lebih baik segera merilis album baru. “Hambalang kupu-kupu. Kenyang nasi goreng, jangan lupa UU Pemilu.”

Referensi:
  • http://nasional.kompas.com/read/2017/07/27/22403071/prabowo–presidential-threshold-lelucon-politik-yang-menipu-rakyat
  • http://nasional.kompas.com/read/2017/07/27/22195181/sby-akui-pertemuan-dengan-prabowo-dipicu-pengesahan-uu-pemilu
Album Baru Kanjeng Pepo: Hambalang Kupu-kupu, Kenyang Nasi Goreng, Jangan Lupa UU Pemilu | admin | 4.5